Ini bukan artikel
tentang ilmu
perbandingan agama, sebab saya kurang tertarik untuk memahas hal tesebut. Tapi ini adalah sebuah artikel tentang penalaran manusia
terhadap Tuhan-nya. Jika hasil penalarannya kepada Tuhannya “memuaskan”, maka
saya yakin, tidak akan ada manusia-manusia yang keluar dari kodrat ilahinya yang
terlahir suci tanpa dosa. Semua akan terlahir sesuai pada“fitrah”nya.
Seperti biasanya, suatu hari saya datang ke tempat
pengajian, untuk menambah lagi perbendaharaan ilmu islam. Untuk pengajian kali ini, topik yang dikaji
adalah bertemakan “Akidah”. Judulnya mungkin biasa-biasa saja, tapi ada hal
menarik yang membuat pengajian hari ini begitu luar biasa. Begitu luar biasanya,
saya yang seorang muslim dari lahir, seolah merasa terlahir kembali sebagai
seorang muslim untuk yang kedua kalinya. Saya juga merasa tercerahkan, merasa
pantas menjadi manusia yang benar-benar memfungsikan akalnya. Bukan hanya
sebatas memiliki tapi juga memfungsikan. Sebab, andai semua manusia di dunia
ini memfungsikan akalnya dalam beriman maka takkan ada perbedaan cara untuk
menyembah Tuhan dalam dunia ini.
Penasaran tentang hal menarik tersebut? Saya berharap
pembaca semua merasa penasaran, karena ini memang sesuatu hal yang menarik.
Kalaupun setelah dibaca ternyata menjadi hal yang tak menarik bagi pembaca
sekalian, no problemo! Toh pada hakekatnya saya sudah mengajak pembaca tuk
“open mind”. Open mind dalam hal apa? Dalam hal “menalar Tuhan sebagai Tuhan”
itulah sisi pembahasan menariknya. Yang tidak tertarik atau merasa tidak mampu dalam mencoba menalar Tuhan-nya, silahkan keluar dari sini. Karena akan sangat sulit bagi kalian untuk menalarnya, meski kalian mencoba-nya. Meski-pun begitu saya akan membagi ilmu yang saya dapatkan disini, agar setiap "muslim" yang membacanya semakin mantap dalam memegang teguh 'keimanannya". Inshaa Allah :)
Inilah kalimat menarik tersebut yang telah 'mencolek" akal
pikiran saya, yang isinya sebagai berikut.
“Sebuah akidah (
keimanan) manusia dikatakan benar apabila ia memiliki 3 Syarat yakni : 1. Sesuai
dengan Akal Manusia, 2. Sesuai dengan Fitrah Manusia, 3. Menentramkan Jiwa. Apabila
ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa “akidah” tersebut
batil alias salah.”
Setelah
membaca kalimat tersebut, ada yang muncul dalam pikiran saya secara spontan?Pelan-pelan
akal saya mulai bekerja dengan berpikir pada akidah yang saya yakini, apakah
sudah benar-benar memenuhi syarat tersebut.? Maka saya-pun mulai
menalarnya....
Pada syarat pertama pertama dikatakan bahwa sebuah akidah
yang benar haruslah : “sesuai dengan akal manusia”. Nah, dari pertanyaan ini muncul sebuah pertanyaan
Wajibkah sebuah akidah atau keyakinan itu, harus sesuai
dengan akal manusia? Tentu saja jawabannya adalah wajib. Tidak, bukan saja wajib tapi
wajib wajib dan wajib. Mengapa?
Sebab,
sebagian besar akidah yang di anut oleh manusia adalah hasil dari “mengikuti”
akidah yang di anut oleh kedua orang tua-nya. Siapa yang menafikkan itu? Jika
ortunya akidahnya A maka sudah pasti anaknya juga berakidah A. Jika ortunya
akidahnya B maka sudah pasti anaknya juga berakidah B, dan seterusnya. Semuanya
berjalan “mengikuti” jejak orang tua. Khan, tidak lucu, saat anak itu lahir,
dia langsung unjuk jari kepada ibu dan semua dokter dan perawat yang membantu
kelahirannya di muka bumi,sambil berkata, “ma,pa, akubeda..”! Ya elah....! :O
Suatu
saat ketika hati dan akalnya merasa ada sesuatu yang menganjal pada akidah yang
diterimanya, bisa saja ia akan melakukan proses pencariannya sendiri dalam
beriman. Hasilnya, mungkin ia akan berpindah pada akidah yang lain atau malah semakin
“menancapkan” keimanannya pada akidah yang dianut, yang sedari awalnya mengikuti
akidah orang tua-nya. Nah, dalam proses pencariannya, tentunya dia akan berpikir
menggunakan akalnya, mencari dan membandingkan mana akidah yang benar. Hingga kebenaran itu akan terungkap jelas, saat
akalnya mampu menjangkau keberadaan Tuhan, menalarnya dengan “sempurna”, tanpa harus “mencederai” akal manusia-nya.
Sebab yang
lain pula, kadang-kadang kita "dipaksa" dan “terpaksa” untuk mengimani Tuhan lewat berbagai macam cara selain
yang saya sebutkan di atas. Diantaranya : 1. Menerima Tuhan dan mengimani-Nya
dengan perasaan semata, dan membuang jauh logika berpikir. Karena bila dicoba untuk dinalar,
maka semua akan terasa tidak masuk akal. 2. Cinta yang berlebih, hingga bukan
saja membutakan hati tapi juga melumpuhkan akal hingga meninggalkan Tuhan, 3.
Terpukau Harta dan dunia, hingga menutup akal pikiran. Dan kejadian-kejadian lain, hingga seseorang tanpa sadar menjadikan makhluk Tuhan sebagai Tuhan.
Berbicara
tentang Tuhan, maka kita berbicara tentang akidah, yaitu sebuah konsep keimanan. Dimana manusia meng-ikrarkan sesuatu “Dzat” menjadi Tuhan yang akan disembahnya,
dan menjadikan dirinya sebagai “hambanya”. Dengan begitu, ia akan mengabdi kepada Tuhan-nya
“seumur hidup”.
Dan yang paling dramatis dari keimanan ini adalah, sebuah “hasil”
akhir sebagai “hadiah” yang Tuhan berikan berupa surga dengan syarat, hamba-Nya “tidak salah” dalam
menyembah-Nya saat di dunia. Dan berupa neraka apabila hamba-Nya “menyekutukannya”
(menyembah) dengan makhluk-makhluk (yang dianggap Tuhan) selain diriNya.
Ini
bukan pilihan main-main, ini tentang akhir hidup manusia yang sifatnya “abadi”.
Apa itu “abadi”? abadi adalah suatu keadaan yang tidak akan pernah berakhir dan
tak berujung, hingga kita “putus asa” berada di dalamnya. Andai dapat surga maka surganya abadi tak ada
putus asa tapi kesenangan yang terus menanti. Andai berujung neraka maka nerakanya abadi, disiksa
hingga kita putus asa, hidup di dalamnya selamanya. Oleh sebab itu, jangan
sampai kita salah dalam ber-akidah. Kesalahan yang kita lakukan hari ini akan
menjadi penyesalan abadi yang tiada putusnya. Think's!
Saya lanjutkan, seperti yang disebutkan di awal bahwa
sebuah akidah yang benar syaratnya adalah “sesuai dengan akal manusia” maka
menalar Tuhan, haruslah masuk di akal kita. Bukan di akal-akalin atau
dibuat-buat. Ketika kita mencoba menalar Tuhan, dan kita mendapati bahwa Tuhan
tersebut tak dapat masuk di akal kita, maka itu artinya, itu bukan Tuhan yang
benar. Saat Tuhan yang di nalar, masuk di akal kita atau sesuai dengan akal
kita maka sudah pasti, itulah Tuhan yang benar, bukan Tuhan yang dibuat-buat.
Karena kata kuncinya adalah
“Tuhan tidak akan menciptakan akal untuk melukai manusia, tapi untuk mendapatkan ilham dan kebenaran tentang-Nya.”
Ingat, Keimanan yang lahir dari akal yang "terpuaskan" akan kuat
dan tidak akan pernah rapuh, berbeda dengan keimanan yang lahir dari perasaan.
TENTANG TUHAN
Berbicara
tentang Tuhan maka kita berbicara tentang Dzat yang tentu "wajib" berbeda dengan manusia, agar
masuk di akal. Karena jika dia sama “dzat”nya dengan manusia, maka dia lemah
dan terbatas. Sebab sifat yang melekat pada manusia adalah lemah dan terbatas.
Dan Tuhan tidak boleh lemah dan terbatas untuk menjadi seorang Tuhan. Dan kerugian bagi manusia jika dia menyembah
sesuatu yang sifatnya lemah dan terbatas. Oleh sebab itu maka :
1. Tuhan tidak
menjalani “proses” seperti
manusia Untuk menjadi Tuhan. Penjelasannya sebagai berikut :
-
Misalnya, bak pengangkatan
seorang Raja, yang harus diakui dan diangkat oleh rakyatnya untuk menjadi Raja.
Tuhan tak butuh pengakuan dan pengangkatan atau kesepakatan dari manusia.
Karena dari awal Dia memang adalah Tuhan. Kita mengakui atau tidak, dia tetap
menjadi Tuhan, selamanya.
-
Harus menjalani
proses perjalanan spiritual untuk menjadi sang pencipta. Jika dia harus
menjalani proses spiritual untuk menjadi Tuhan, maka ini sudah menunjukkan bahwa
dari awal dia memang bukan Tuhan. Karena, hanya manusia yang memiliki “proses’
sementra Tuhan tidak memiliki proses. Sebab dari awal memang Dia adalah "Dzat" yang
memang sudah “azali” sebagai Tuhan.
-
Menjalani
kehidupan manusia dengan terlahir dari maaf "vagina" wanita. Melahirkan
wujudnya dengan terlahir dari “mahkluk” ciptaan-Nya sendiri hanya untuk berkasih
sayang dengan manusia. Padahal dia berkaliber Tuhan. Sungguh itu merendahkan diri-nya. Kelahiranya-pun ke dunia sebagai manusia telah
menunjukkan bahwa (yang terlahir dari rahim manusia) mempunyai “awal” dan kematiannya menunjukkan dia punya
akhir. Sementara, Dzat Tuhan itu harus "azali" yaitu tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak diciptakan, tapi menciptakan.
-
Tidak memiliki cinta apalagi
sampai memiliki pasangan. Ini unik. Bagaimana mungkin Dzat sekaliber Tuhan yang
disembah punya syahwat seperti manusia? suka dan jatuh cinta?
Kalau kita berlogika, Tuhan jatuh cinta, maka kepada siapa Tuhan jatuh cinta? Berarti,
Tuhan jatuh cinta kepada makhluk ciptaan-nya sendiri! Dan berhubungan badan
dengannya! Bisa dibayangkan? Bagaimana sampai sekaliber Tuhan bisa sampai seperti manusia?. Apalagi sampai Tuhan patah hati, stres
kemudian tidak mau lagi mengurus manusia. Ini jauh melukai logika. Lalu,
mengapa menyembah sesuatu yang bercinta?
- Tuhan tidak berjenis kelamin. Begitu
banyak kita melihat bahwa, tuhan-tuhan yang disembah, semua berjenis kelamin
laki-laki, atau setidaknya digambarkan sebagai sosok seorang laki-laki. Bisakah
membayangkan Tuhan punya kelamin?
Itulah
mengapa dikatakan bahwa, Tuhan yang dijadikan sembahan, tidak boleh berproses seperti manusia. Adanya proses pada-nya, telah menunjukkan bahwa dia adalah “bagian” dari makhluk
ciptaan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.
2. Tuhan yang
disembah manusia tidak boleh bergantung kepada sesuatu. Karena pada dasarnya, Tuhan yang bergantung pada sesuatu adalah Tuhan yang lemah. Dia seperti makhluk yang mana
sifat dari makhluk adalah bergantung pada sesuatu. Maka manusia yang pintar pasti akan meminta pada yang Maha Tinggi.
3. Tuhan-pun harus berkuasa secara mutlak. Artinya
tidak boleh ada penguasa selain Dia. Anggaplah Raja, Raja-pun harus
seorang jika memerintah. Andai dalam sebuah kerajaan, ada lebih dari satu Raja misal: dua, tiga, dan empat, maka Raja tersebut tidak memiliki kuasa
penuh, karena masih
ada yang lain yang berkuasa. Bagaimana bila ada satu Raja yang punya banyak pengikut sementara yang lain hanya sedikit pengikutnya. Apa
tidak menutup kemungkinan dia akan iri hati? Bisa jadi ada hal yang akan dia
lakukan untuk mendapat pemuja-nya. Namun point-utamanya adalah, Kekuasaan Tuhan harus mutlak milik Dia seorang. Maka bila penguasa dunia ini, lebih
dari satu, maka bagaimana cara mereka memerintah? Ok, Anggap saja mereka
berbagi kekuasaan dunia agar damai. Tapi "pembagian" ini telah menunjukkan
bahwa, Tuhan yang macam ini tidak berkuasa penuh, dia, ataupun teman sejawat-nya. Mereka bukan Tuhan yang mutlak.
4. Tuhan itu harus punya kuasa penuh dalam mengampuni
manusia tanpa perlu mengorbankan dirinya, atau apapun yang berhubungan
dengan dirinya. Bila untuk mengampuni dia harus mengorbankan dirinya, maka
itu telah menunjukkan
ketidak-kuasanya dia atas dirinya dan atas hambanya. Simpelnya, toh manusia
bersalah atas dia, yang di langgar juga aturan-nya? Tinggal diampuni saja
selesai. Kenapa harus dibuat ribet.?
5. Tuhan Tidak ber-anak dan di peranakkan. Bisa
membayangkan Tuhan mempunyai anak seperti manusia? Bagimana cara menyembah
antara Tuhan dan anaknya? Bukankah ini namanya mendua-akan Tuhan? dan Tuhan ter-dua-kan?
Atau
benarkan dulu Tuhan mempunyai anak, lalu apakah ketuhanan memiliki
pewarisan seperti pewarisan putra mahkota? Tuhan meminta anaknya untuk menggantikan “tahta’nya
sebagai Tuhan. Lalu setelah Tuhan mangkat, Tuhan akan kemana? Menghilang? Terhapus?
Bagaimana mungkin Tuhan tergantikan? Bukankah penalaran ini tidak memuaskan
akal manusia?
Sebenarnya masih ada banyak hal yang akan menjadi
pertanyaan, pada sesuatu yang memang bukan Tuhan. Akan selalu muncul pertanyaan
terus menerus, kenapa begini, kenapa begitu. Adanya pertanyaan-pertanyaan ini
adalah hal yang lumrah dan harus. Sebab Allah menciptakan kita akal. Dimana
akal itu digunakan untuk mencari kebenaran tentang-Nya. Seperti kisah Ibrahim
yang mahsyur saat ia mencari Tuhan dengan mengedepankan akalnya...
Bagaimana kisah Ibrahim yang
mencari Tuhan dengan memfungsikan akalnya...? lalu seperti apakah sosok tuhan
yang sesuai akal manusia? penasaran...bersambung di
Menalar Tuhan Sebagai Tuhan Part 2....