BIDADARI SURGA ASIAH

Tuesday, April 5, 2011

Korban Logika Akal !


Salah satu alasan yang paling mendasar sehingga menjadikan manusia makhluk yang paling mulia diantara makhluk ciptaan Allah adalah tidak lain karena keberadaan akalnya. Saking mulianya manusia sehingga para malaikat yang notabene adalah makhluk suci harus mematuhi perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Dan tidak ketinggalan pula, Iblis makhluk yang diciptakan dari api-pun tidak luput dari perintah itu. Namun karena kesombongan yang begitu besar dan gengsi yang tinggi, Iblis menolak untuk bersujud kepada Adam. Iblis tetap bersikukuh menolak dengan argument bahwa dia terbuat dari api dan Adam dari tanah. Sekiranya mungkin Iblis lupa bahwa bukan unsur penciptaannya yang membuat ia harus sujud kepada Adam, namun akal itulah kuncinya. Walau tak dinafikkan Iblis-pun diberikan potensi yang sama. Maka terjadilah tragedi pertama dalam sejarah akhirat, Allah mengusir Iblis dari surga yang selama ini ia diami. Dendam Iblis-pun membara kepada manusia, sehingga ia meminta kepada Allah mengizinkan dirinya mengajak anak cucu Adam ikut menemaninya di neraka.

Tragedi sudah terjadi, keputusan telah diambil, dan vonis sudah dijatuhkan. Takdir Ilahi, sampai akhir zaman, Iblis takkan berhenti mengajak manusia untuk membangkang terhadap perintah Allah. Tragedi ini dikisahkan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah, dimana Allah mengajarkan Adam ilmu pengetahuan, dan melalui akal yang diberikan Allah kepada Adam, sehingga Adam mampu untuk menyerap ilmu yang diajarkan kepadanya.

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!, Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?, Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. ( Al-Baqarah; 31-34 )

Apa Itu Akal?

Kata “akal” berasal dari bahasa Arab: al-aql. Arti lafaz tersebut sama dengan al-idrak dan al-fikr. Ketiga lafaz tersebut maknanya sama. Akal merupakan khashiyat yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia, yang merupakan khashiyat otak manusia. Adalah kesalahan besar ketika akal disimpulkan sebagai organ fisik yang berada di dalam otak, kepala ataupun dada, dengan argument bahwa hati ada di dada. Karena fakta membuktikan bahwa hewan juga mempunyai “hati” yang ada di dada. Punya otak di kepala namun tetap tidak mempunyai akal.
Karena itu akal sesungguhnya merupakan “kekuatan untuk menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang sesuatu”. Kekuatan ini bukan merupakan kerja satu organ tubuh manusia seperti otak, sehingga akal dianggap sama dengan otak. Lalu disimpulkan bahwa akal tempatnya ada di kepala. Tentu kesimpulan ini salah. Yang benar adalah kekuatan untuk terbentuknya “akal” lahir dari empat komponen yaitu : 1.Otak, 2.Realitas yang dapat di indra, 3.Alat indra dan yang terakhir, 4.Informasi awal. Proses kerjanya yaitu sebuah “realitas” diindera oleh “alat indra” yang kemudian dimasukkan ke dalam “otak”. dengan “informasi awal” sebelumnya, maka realitas tersebut kemudian disimpulkan. Pada saat itulah terbentuk kekuatan untuk menyimpulkan realitas. Inilah esensi akal manusia.

Seperti yang kita ketahui akal itu dikatakan berfungsi bilamana ia dapat menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang sesuatu. Nah berkaitan dengan yang namanya “hasil kesimpulan” bukankah benar bahwa ia membutuhkan “informasi awal” untuk menyimpulkan? Tanpa “informasi awal” ini maka “akal” manusia akan salah dan keliru dalam menyimpulkan segala sesuatu?. Jika kesalahan dan kekeliruan itu berhubungan dengan kehidupan sehari-hari mungkin masih bisa untuk kita perbaiki. Tapi bagaimana kalau kekeliruan itu berhubungan dengan hal-hal yang berhubungan dengan akidah ( keimanan)? Sesuatu yang berhubungan dengan akhir kehidupan manusia, apakah akan berakhir di surga ataukah berakhir di neraka? Bukankah ini kesalahan dan kekeliruan yang sangat fatal?

Sebelumnya saya ingin mengajak teman-teman bernostalgia dengan pelajaran biologi dan sejarah ketika di bangku SMP. Ingatkah kita dengan Aristoteles? Ia adalah Seorang ahli filsafat Yunani kuno yang terkenal dengan teori Abiogenesis (generatio spontanea). Aristoteles berpendapat bahwa makhluk hidup terjadi begitu saja alias spontanitas. Teorinya ini pada akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya teori “Dialetika Materi” yang di gagas oleh Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa alam semesta, manusia dan kehidupan berasal dari materi yang berevolusi. Teori ini kemudian melahirkan “Sistem Sosialis” yang penganutnya disebut para komunis. Karl Marx sendiri akhirnya diangkat sebagai bapak sosialis dunia.

Ingatkah kita pula dengan Darwin? Walaupun Darwin seorang gerejawan namun ia sendiri mengeluarkan sebuah teori evolusi yang mengingkari tentang penciptaan manusia oleh Tuhan. Hanya dengan melakukan pengamatan pada fosil manusia purbakala Darwin membuat kesimpulan mengejutkan dengan teorinya yang menyatakan bahwa nenek moyang manusia berasal dari kera. Pada akhirnya Darwin sendiripun kebingungan dengan teorinya tersebut.

Kalau kita lihat, teori Aristoteles dan Karl Marx, lahir dari akal mereka yang dangkal. Hanya dengan bersandarkan pada logika fakta terhadap kejadian-kejadian yang ada. akhirnya keduanya sama-sama bersepakat tentang pengingkaran akan keberadaan Tuhan. Keduanya Menafikkan adanya Tuhan sebagai pencipta dari alam semesta, manusia dan kehidupan. Dalam membuat “kesimpulan” yang melahirkan “teori” keduanya tidak menggunakan “informasi awal” sebelumnya untuk membuat “kesimpulan” tersebut. Padahal “informasi awal” merupakan sandaran utama untuk menuntun mereka dalam memecahkan segala permasalahan yang muncul. Saya sebut “informasi awal” itu adalah “kitab-kitab” yang diturunkan oleh Allah kepada para rasul kepada manusia. Dengan maksud agar manusia mengenal asal usul keberadaan mereka di dunia sekaligus Allah ingin mengenalkan dirinya sebagai Tuhan yang menciptakan manusia. Dari awal sebenarnya pertanyaan-pertanyaan keduanya tentang kehidupan sudah terjawab oleh kitab-kitab Tuhan. Bahkan pada akhirnya pula teori yang mereka hasilkan dengan hipotesis susah payah dengan waktu bertahun-tahun lamanya dari akal mereka sudah terbantahkan oleh kitab-kitab Allah. Ironinya dari “kesimpulan” yang mereka hasilkan dari akalnya menjadikan keduanya menjadi atheis. Menjadi atheis artinya memesan tempat di akhirat bersama Firaun Cs. Bukankah ini pemikiran yang sia-sia nan fatal? Akal yang hanya berlogika tanpa penuntun akan menjadi korban dari akalnya sendiri.

Tak jauh beda dengan Aristoteles dan Karl Marx, Darwin dengan bangga mengatakan bahwa nenek moyang manusia berasal dari kera. Mendapat pelajaran sejarah tersebut, saya sempat kaget…masa sih…? Sejurus kalu kita melihat alur logika akal yang digunakan Darwin dengan fakta hipotesisnya terkesan benar, apalagi ini dibuktikan dengan penenmuan fosil kerangka manusia modern yang sudah berbadan tegak namun masih menyerupai kera? Tapi Darwin terlalu naïf untuk mengatakan bahwa nenek moyang manusia berasal dari kera hanya dengan hipotesisnya. Pada akhirnya teori Darwin diruntuhkan dengan adanya penemuan gen dan kromosom. Itulah yang terjadi ketika akal Darwin yang berlogika dengan hipotesisnya dengan mengabaikan “informasi awal”. Informasi dari kitab-kitab Allah yang menjelaskan bahwa Adam adalah jenis manusia pertama yang diciptakan Allah tanpa berevolusi.

Sangat menggelikkan jika membayangkan kera yang berwajah buruk rupa bisa berevolusi menjadi manusia setampan wajah Nabi Yusuf dan secantik Zulaikha. Mungkinkah? Lalu bagaimana dengan kata pepatah, “Buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya”? Artinya kalaupun berevolusi setidaknya bentuk tubuh dan wajah manusia tidak jauh-jauh dari kera. Paling tidak mulut manusia harus moncong dan bulunya harus lebat, oh iya satu lagi, manusia juga harus bisa bergelantungan di atas pohon. Hmmm…Mungkin kata pepatah itu tak berlaku karena pohonnya berada di atas gunung sehingga ketika buahnya jatuh langsung menggelinding dan terus ke sungai sehingga tumbuh menjadi “beda” dengan indungnya….kale….^^ Yah, Aristoteles, Karl Marx dan Darwin adalah korban dari logika akal yang mereka ciptakan sendiri.

Di abad 21 sekarang ini terdapat pula para korban logika akal. Jika Aristoteles Cs membuktikan hipotesis mereka dengan melakukan eksperimen, korban logika abad 21 menggunakan logika mantic. Yaitu gaya berpikir yang disandarkan pada akal. Mereka mencoba untuk menjangkau segala sesuatunya dengan akal tanpa mau tau bahwa akal manusia yang diciptakan itu terbatas, sama terbatasnya dengan kehidupan manusia.

Terkait dengan akal yang menggunakan logika dalam proses keimanan dan beribadah kepada Allah saya akan mengisahkan sedikit episode lembaran perjuangan saya dalam mempertahankan akidah yang pada dasarnya rapuh namun masih bertahan walaupun diserang. Ketika itu saya masih nol besar tentang islam. Tak tau akidah itu apa!. Waktu itu kami mengikuti pembinaan yang di beri nama GS. Namun isinya tetap adalah ospek yaitu penyiksaan senior terhadap yunior cuman sebutannya saja diperhalus. Saat waktu sholat magrib tiba, datang seorang senior yang belakangan saya ketahui, dia adalah ketua dari sebuah organisasi di kampus. Kami semua maba hendak berdiri untuk sholat, tapi tiba-tiba dia mencegah kami untuk sholat. Dengan suaranya yang lantang dia berkata:
“Untuk apa kalian sholat? Untuk apa…?” Ucapnya dengan gaya bahasa puitis.
“Adik-adik, tahukah kalian makna sholat yang sebenarnya? Ayo..tahukah kalian?”
Kami hanya diam. Maklum senior cing lagi sok bentak-bentak di depan kami.
“Makna sholat adalah mengingat Allah. Ingat…hanya mengingat Allah….. betul tidak?”
Kami mengangguk. Bukankah benar aktifitas sholat adalah aktifitas mengingat allah? “
Jadi sebenarnya, cukup hanya dengan mengingat Allah tanpa kalian harus mengerjakan sholat yang sebenarnya, maka kalian sudah bisa dikatakan sholat”.
“Cukup hanya dengan mengingat. Tidak perlu kalian susah-susah payah untuk mendirikan sholat.”  ucapnya dengan intonasi yang ditekan.
Disitu akalku yang dangkal kemudian berpikir. “Benar juga yang dikatakan seniorku. Bukankah sholat adalah aktifitas yang di dalamnya hanya mengingat Allah? Jadi cukup dengan mengingat-Nya saja maka kita sudah sholat? Jadi buat apa capek-capek sholat? Toh maknanya sama…mengingat sang pencipta. Karena dialog logika seperti itu akhirnya beberapa separuh dari teman-teman memutuskan untuk tidak pergi sholat. Alhamdulillah saat itu walupun apa yang dikatakan senior sangat masuk di akal, walupun bimbang aku tetap pergi sholat walau tak khusyu. Yah, senior itu-pun tidak sholat, padahal mengaku dirinya muslim.

Teman-teman seangkatan saya yang ketika itu baru selesai mengikuti sebuah basic training yang diadakan oleh salah satu organisasi yang ada di kampus mengajak saya untuk berdiskusi. Teman-teman saya mengajukan pertanyaan,
“asiah, kenapa kamu yakin bahwa Allah itu ada sementara kamu sendiri tak pernah melihat dengan mata kepalamu sendiri sosok tuhan itu?”

Dalam hati saya bingung, saya yakin tuhan itu ada, tapi keyakinan tanpa bukti bukankah itu tidak mendasar? Belum selesai saya berpikir, teman saya mengajukan lagi pertanyaan-pertanyaan lain? 
“Dimana sebenarnya letak keberadaan Allah? Di baratkah? Ditimur kah?” 
Saya ingin membantah mereka, tapi sayang saat itu ilmu islam saya tak punya. Yah sampai pada suatu hari saya akhirnya belajar islam. Pertanyaan itu akhirnya bisa dijawab pula dengan logika akal tapi akal yang punya "informasi awal" alias standar penuntun .

Pertama, memang benar sholat adalah aktifitas mengingat Allah. Tapi apakah dengan hanya mengingat Allah maka eksistensi sholat sudah bisa kita dapatkan? Bagaimana kalau saya bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Jika anda lapar, perut anda sudah keroncongan, sudah bersiul riuh rendah. Maka agar anda bisa kenyang cukup anda mengingat makanan. Dengan mengingat makanan maka kesimpulannya anda sudah makan. Tapi pertanyaannya, apakah perut anda sudah terisi dengan hanya mengingat makan? Apakah perut anda menjadi tidak lapar lagi ketika anda hanya mengingat? Jelas perut anda tetap akan kelaparan. Anda tetap butuh melakukan aktifitas yang sebenarnya yaitu makan. Mengambil makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Baru anda bisa kenyang.

Atau misalnya anda ingin buang hajat. Perut and susah melilit. Maka anda hanya perlu mengingat bahwa anda sudah buang hajat. Maka anda sudah buang hajat. Pertanyaannya, apakah perut anda sudah berhenti untuk melilit? Anda tetap harus ke wc untuk menghentikan lilitan tersebut. Jadi kesimpulannya eksistensi aktifitas itu tidak akan pernah kita dapatkan dengan cara “cukup mengingat”.

Jadi melakukan sholat dengan bacaan dan gerakannya itulah yang diminta. Agar eksistensi perbuatan ibadah itu kita dapatkan. 

Pertanyaan yang kedua, bagaimana membuktikan bahwa Allah itu ada.?
Memang Dzat Allah sampai kapan-pun tidak akan pernah bisa dijangkau oleh akal manusia. Manusia sendiri-pun tidak akan pernah bisa melihat Allah. Tapi manusia tetap bisa menjangkau keberadaan Allah dengan melihat apa yang diciptakan oleh-Nya. Dan melalui Akal itu manusia diminita untuk berpikir. Allah berfirman :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” ( Al-Baqarah :164). 

“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. ( Az-Zumar : 21).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” ( QS Ali Imran : 190).

Masih banyak ayat-ayat Allah yang menjelaskan bukti tanda-tanda keberadaan Allah. Karena itu tidak mungkin segala sesuatu ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan Tak akan mungkin segala sesuatu yang ada di alam semesta bisa teratur dengan sendirinya. Contoh, Sistem tata surya kita. Planet-planet berputar mengelilingi matahari dengan melewati lintasannya masing-masing secara teratur. Andai tidak ada yang mengatur pergerakan perputaran planet-planet terhadap matahari, akan tidak mungkin salah satu planet semisal Pluto yang jauh lintasannya merasa bosan dan capek. Sehingga ia ingin melakukan perputaran yang lebih dekat dengan berpindah ke lintasan planet yang lain dan menggeser planet yang lainnya. Bayangkan apa yang terjadi jika Pluto mengambil lintasan planet yang lain? Bukankah alam semesta akan mengalami kehancuran? Banyak contoh yang  bisa kita dapatkan,  tapi cukuplah contoh kecil itu saya hadirkan di benak teman-teman dengan harapan akan memberi pengaruh yang besar bagi kita sehingga kita segera sadar dan tunduk pada Dzat yang menciptakan kita yaitu Allah SWT.

Masih ada pertanyaan logika lain yang membuat bingung teman saya. Dia mendatangi saya dalam keadaan nalar logika yang berkecamuk sehingga meremukkan semua keimanan nya kepada Allah. Dia tinggal selangkah lagi menuju ke-Atheisannya. Ia bertanya :
“Iblis diciptakan dari api, neraka terbuat dari api. Suatu saat iblis akan dimassukan ke dalam neraka. Bukankah unsur api akan bertemu dengan unsur api tidak akan  saling memusnahkan?. Jadi pasti Iblis tidak akan merasakan sakitnya di panggang dalam api neraka? Tuhan berpura-pura untuk menyiksa iblis.” Ujar teman saya mantap. 
Untungnya saya pernah mendapat jawaban dari pertanyaan yang diajukan teman saya. Saya pun berkata kepada teman saya itu,
“kamu tercipta dari apa? 
“tanah”. Jawabnya.
“Oke, kalau begitu”. Saya pun dengan sengaja mengambil tanah kemudian saya gumpalkan ke dalam tangan saya dan mengayunkan tangan untuk melemparkan tanah tersebut ke arahnya. Melihat gelagat saya, diapun marah.
Asiah, kenapa saya mau kau lempar…?
“Tenang, ini tidak akan sakit ?
“Kau gila, itu tanah, sakitlah kalau kena tubuh! Ujar teman saya sambil mencak-mencak.
Sayapun tersenyum. “Bukankh kau dari tanah, ini juga tanah, jadi tanah-ketemu tanah tidak akan sakit khan?
Saya pikir teman-teman bisa menebak apa yang terjadi sesudahnya pada teman saya.

Dari semua itu kita bisa mengambil hikmah bahwa keberadaan akal adalah anugerah terindah yang Allah berikan pada manusia. Tapi satu hal yang yang harus kita pahami, akal manusia mempunyai keterbatasan. Kapan daya nalar logika berpikir kita keluar dari batas jangkauannya maka saya jamin, anda pasti gila. Jika ingin beriman dengan menggunakan akal, contohlah cara Ibrahim yang mendapatkan Tuhan dengan memikirkan keberadaan matahari dan bulan. Contohlah cara Nabi Ibrahim. Yang dengan kejeniusannya berlogika dengan "informasi awal" sehingga mampu mengalahkan argumen orang-orang jahiliyah yang menyembah batu dan berhala.  Karena itu akal-pun harus mempunyai "informasi awal" sebelum ia menghasilkan sebuah "kesimpulan". Akal wajib mempunyai "sandaran" dalam berpikir agar ia tidak salah dan keliru dalam berpikir.  Karena itu, sebagai seorang muslim, kita wajib menyandarkan  akal kita pada Al-Quran. Al-Quran adalah jawaban dari segala pertanyaan yang muncul, solusi dari permasalahan yang ada entah itu di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.  Terjangkau oleh akal dan bukan akal-akalan.  insya Allah dengan menjadikan Al-Quran sebagai alur awal berpikir anda, anda tidak akan tersesat dan menyesatkan orang. Berlogika akal tak ada salahnya tapi jangan sampai logika akal keluar dari batas nalar kita sehingga malah menyerang balik nalar akal kita sendiri.

Yup..jika anda punya akal, jangan jadi korban ke-logikaan akal anda.


Sumber :
* Islam Politik Dan Spritual, Hafidzh Abdurahman.