BIDADARI SURGA ASIAH

Saturday, November 3, 2018

Menalar Tuhan Sebagai Tuhan ( PART 1)






Ini bukan artikel tentang ilmu perbandingan agama, sebab saya kurang tertarik untuk memahas hal tesebut. Tapi ini adalah sebuah artikel tentang penalaran manusia terhadap Tuhan-nya. Jika hasil penalarannya kepada Tuhannya “memuaskan”, maka saya yakin, tidak akan ada manusia-manusia yang keluar dari kodrat ilahinya yang terlahir suci tanpa dosa. Semua akan terlahir sesuai pada“fitrah”nya.

Seperti biasanya, suatu hari saya datang ke tempat pengajian, untuk menambah lagi perbendaharaan ilmu islam.  Untuk pengajian kali ini, topik yang dikaji adalah bertemakan “Akidah”. Judulnya mungkin biasa-biasa saja, tapi ada hal menarik yang membuat pengajian hari ini begitu luar biasa. Begitu luar biasanya, saya yang seorang muslim dari lahir, seolah merasa terlahir kembali sebagai seorang muslim untuk yang kedua kalinya. Saya juga merasa tercerahkan, merasa pantas menjadi manusia yang benar-benar memfungsikan akalnya. Bukan hanya sebatas memiliki tapi juga memfungsikan. Sebab, andai semua manusia di dunia ini memfungsikan akalnya dalam beriman maka takkan ada perbedaan cara untuk menyembah Tuhan dalam dunia ini.

Penasaran tentang hal menarik tersebut? Saya berharap pembaca semua merasa penasaran, karena ini memang sesuatu hal yang menarik. Kalaupun setelah dibaca ternyata menjadi hal yang tak menarik bagi pembaca sekalian, no problemo! Toh pada hakekatnya saya sudah mengajak pembaca tuk “open mind”. Open mind dalam hal apa? Dalam hal “menalar Tuhan sebagai Tuhan” itulah sisi pembahasan menariknya. Yang tidak tertarik atau merasa tidak mampu dalam  mencoba menalar Tuhan-nya, silahkan keluar dari sini. Karena akan sangat sulit bagi kalian untuk menalarnya, meski kalian mencoba-nya. Meski-pun begitu saya akan membagi ilmu yang saya dapatkan disini, agar setiap "muslim" yang membacanya semakin mantap dalam memegang teguh 'keimanannya". Inshaa Allah :)

Inilah kalimat menarik tersebut yang telah 'mencolek" akal pikiran saya, yang isinya sebagai berikut.

“Sebuah akidah ( keimanan) manusia dikatakan benar apabila ia memiliki 3 Syarat yakni : 1. Sesuai dengan Akal Manusia, 2. Sesuai dengan Fitrah Manusia, 3. Menentramkan Jiwa. Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa “akidah” tersebut batil alias salah.”

Setelah membaca kalimat tersebut, ada yang muncul dalam pikiran saya secara spontan?Pelan-pelan akal saya mulai bekerja dengan berpikir pada akidah yang saya yakini, apakah sudah benar-benar memenuhi syarat tersebut.? Maka saya-pun mulai menalarnya....

Pada syarat pertama pertama dikatakan bahwa sebuah akidah yang benar haruslah : “sesuai dengan akal manusia”. Nah,  dari pertanyaan ini muncul sebuah pertanyaan

Wajibkah sebuah akidah atau keyakinan itu, harus sesuai dengan akal manusia? Tentu saja jawabannya adalah wajib. Tidak, bukan saja wajib tapi wajib wajib dan wajib. Mengapa?

Sebab, sebagian besar akidah yang di anut oleh manusia adalah hasil dari “mengikuti” akidah yang di anut oleh kedua orang tua-nya. Siapa yang menafikkan itu? Jika ortunya akidahnya A maka sudah pasti anaknya juga berakidah A. Jika ortunya akidahnya B maka sudah pasti anaknya juga berakidah B, dan seterusnya. Semuanya berjalan “mengikuti” jejak orang tua. Khan, tidak lucu, saat anak itu lahir, dia langsung unjuk jari kepada ibu dan semua dokter dan perawat yang membantu kelahirannya di muka bumi,sambil berkata, “ma,pa, akubeda..”! Ya elah....! :O
Suatu saat ketika hati dan akalnya merasa ada sesuatu yang menganjal pada akidah yang diterimanya, bisa saja ia akan melakukan proses pencariannya sendiri dalam beriman. Hasilnya, mungkin ia akan berpindah pada akidah yang lain atau malah semakin “menancapkan” keimanannya pada akidah yang dianut, yang sedari awalnya mengikuti akidah orang tua-nya. Nah, dalam proses pencariannya, tentunya dia akan berpikir menggunakan akalnya, mencari dan membandingkan mana akidah yang benar.  Hingga kebenaran itu akan terungkap jelas, saat akalnya mampu menjangkau keberadaan Tuhan, menalarnya dengan “sempurna”,  tanpa harus “mencederai” akal manusia-nya.

Sebab yang lain pula, kadang-kadang kita "dipaksa" dan “terpaksa” untuk mengimani Tuhan lewat berbagai macam cara selain yang saya sebutkan di atas. Diantaranya : 1. Menerima Tuhan dan mengimani-Nya dengan perasaan semata, dan membuang jauh logika  berpikir. Karena bila dicoba untuk dinalar, maka semua akan terasa tidak masuk akal. 2. Cinta yang berlebih, hingga bukan saja membutakan hati tapi juga melumpuhkan akal hingga meninggalkan Tuhan, 3. Terpukau Harta dan dunia, hingga menutup akal pikiran. Dan kejadian-kejadian lain, hingga seseorang tanpa sadar menjadikan makhluk Tuhan sebagai Tuhan.

Berbicara tentang Tuhan, maka kita berbicara tentang akidah, yaitu sebuah konsep keimanan. Dimana manusia meng-ikrarkan sesuatu “Dzat” menjadi Tuhan yang akan disembahnya, dan menjadikan dirinya sebagai “hambanya”. Dengan begitu, ia akan mengabdi kepada Tuhan-nya “seumur hidup”. 
Dan yang paling dramatis dari keimanan ini adalah, sebuah “hasil” akhir sebagai “hadiah” yang Tuhan berikan berupa surga dengan syarat, hamba-Nya “tidak salah” dalam menyembah-Nya saat di dunia. Dan berupa neraka apabila hamba-Nya “menyekutukannya” (menyembah) dengan makhluk-makhluk (yang dianggap Tuhan) selain diriNya. 
Ini bukan pilihan main-main, ini tentang akhir hidup manusia yang sifatnya “abadi”. Apa itu “abadi”? abadi adalah suatu keadaan yang tidak akan pernah berakhir dan tak berujung, hingga kita “putus asa” berada di dalamnya.  Andai dapat surga maka surganya abadi tak ada putus asa tapi kesenangan yang terus menanti. Andai  berujung neraka maka nerakanya abadi, disiksa hingga kita putus asa, hidup di dalamnya selamanya. Oleh sebab itu, jangan sampai kita salah dalam ber-akidah. Kesalahan yang kita lakukan hari ini akan menjadi penyesalan abadi yang tiada putusnya. Think's!

Saya lanjutkan, seperti yang disebutkan di awal bahwa sebuah akidah yang benar syaratnya adalah “sesuai dengan akal manusia” maka menalar Tuhan, haruslah masuk di akal kita. Bukan di akal-akalin atau dibuat-buat. Ketika kita mencoba menalar Tuhan, dan kita mendapati bahwa Tuhan tersebut tak dapat masuk di akal kita, maka itu artinya, itu bukan Tuhan yang benar. Saat Tuhan yang di nalar, masuk di akal kita atau sesuai dengan akal kita maka sudah pasti, itulah Tuhan yang benar, bukan Tuhan yang dibuat-buat. Karena kata kuncinya adalah 

“Tuhan tidak akan menciptakan akal untuk melukai manusia, tapi untuk mendapatkan ilham dan kebenaran tentang-Nya.”

Ingat, Keimanan yang lahir dari akal yang "terpuaskan" akan kuat dan tidak akan pernah rapuh, berbeda dengan keimanan yang lahir dari perasaan.


TENTANG TUHAN

Berbicara tentang Tuhan maka kita berbicara tentang Dzat yang tentu "wajib" berbeda dengan manusia, agar masuk di akal. Karena jika dia sama “dzat”nya dengan manusia, maka dia lemah dan terbatas. Sebab sifat yang melekat pada manusia adalah lemah dan terbatas. Dan Tuhan tidak boleh lemah dan terbatas untuk menjadi seorang Tuhan. Dan kerugian bagi manusia jika dia menyembah sesuatu yang sifatnya lemah dan terbatas. Oleh sebab itu maka :

1. Tuhan tidak  menjalani proses” seperti manusia Untuk menjadi Tuhan. Penjelasannya  sebagai berikut :

-          Misalnya, bak pengangkatan seorang Raja, yang harus diakui dan diangkat oleh rakyatnya untuk menjadi Raja. Tuhan tak butuh pengakuan dan pengangkatan atau kesepakatan dari manusia. Karena dari awal Dia memang adalah Tuhan. Kita mengakui atau tidak, dia tetap menjadi Tuhan, selamanya.

-          Harus menjalani proses perjalanan spiritual untuk menjadi sang pencipta. Jika dia harus menjalani proses spiritual untuk menjadi Tuhan, maka ini sudah menunjukkan bahwa dari awal dia memang bukan Tuhan. Karena, hanya manusia yang memiliki “proses’ sementra Tuhan tidak memiliki proses. Sebab dari awal memang Dia adalah "Dzat" yang memang sudah “azali” sebagai Tuhan.

-          Menjalani kehidupan manusia dengan terlahir dari maaf "vagina" wanita. Melahirkan wujudnya dengan terlahir dari “mahkluk” ciptaan-Nya sendiri hanya untuk berkasih sayang dengan manusia. Padahal dia berkaliber Tuhan.  Sungguh itu merendahkan diri-nya. Kelahiranya-pun  ke dunia sebagai manusia telah menunjukkan bahwa (yang terlahir dari rahim manusia) mempunyai “awal” dan kematiannya menunjukkan dia punya akhir. Sementara, Dzat Tuhan itu harus "azali" yaitu tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak diciptakan, tapi menciptakan.

-          Tidak memiliki cinta apalagi sampai memiliki pasangan. Ini unik. Bagaimana mungkin Dzat sekaliber Tuhan yang disembah punya syahwat seperti manusia? suka dan jatuh cinta? Kalau kita berlogika, Tuhan jatuh cinta, maka kepada siapa Tuhan jatuh cinta? Berarti, Tuhan jatuh cinta kepada makhluk ciptaan-nya sendiri! Dan berhubungan badan dengannya! Bisa dibayangkan? Bagaimana sampai sekaliber Tuhan bisa sampai seperti manusia?.  Apalagi sampai Tuhan patah hati, stres kemudian tidak mau lagi mengurus manusia. Ini jauh melukai logika. Lalu, mengapa menyembah sesuatu yang bercinta?
  
-        Tuhan tidak berjenis kelamin. Begitu banyak kita melihat bahwa, tuhan-tuhan yang disembah, semua berjenis kelamin laki-laki, atau setidaknya digambarkan sebagai sosok seorang laki-laki. Bisakah membayangkan Tuhan punya kelamin? 

Itulah mengapa dikatakan bahwa, Tuhan yang dijadikan sembahan, tidak boleh berproses seperti manusia. Adanya proses pada-nya, telah menunjukkan bahwa dia adalah “bagian” dari makhluk ciptaan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.


2. Tuhan yang disembah manusia tidak boleh bergantung kepada sesuatu.  Karena pada dasarnya, Tuhan yang bergantung pada sesuatu adalah Tuhan yang lemah. Dia seperti  makhluk yang mana sifat dari makhluk adalah bergantung pada sesuatu. Maka manusia    yang pintar pasti  akan meminta pada yang Maha Tinggi.

3. Tuhan-pun harus berkuasa secara mutlak. Artinya tidak boleh ada penguasa selain Dia. Anggaplah Raja, Raja-pun harus seorang jika memerintah. Andai dalam sebuah kerajaan, ada lebih dari satu Raja misal: dua, tiga, dan empat, maka Raja tersebut tidak memiliki   kuasa penuh, karena masih ada yang lain yang berkuasa. Bagaimana bila ada satu Raja yang punya banyak pengikut sementara yang lain hanya sedikit pengikutnya. Apa tidak menutup kemungkinan dia akan iri hati? Bisa jadi ada hal yang akan dia lakukan untuk mendapat pemuja-nya. Namun point-utamanya adalah, Kekuasaan Tuhan harus mutlak milik Dia seorang. Maka bila penguasa dunia ini, lebih dari satu, maka bagaimana cara mereka memerintah? Ok, Anggap saja mereka berbagi kekuasaan dunia agar damai. Tapi "pembagian" ini telah menunjukkan bahwa, Tuhan yang macam ini tidak berkuasa penuh, dia, ataupun teman sejawat-nya. Mereka bukan Tuhan yang mutlak.

4. Tuhan itu harus punya kuasa penuh dalam mengampuni manusia tanpa perlu mengorbankan dirinya, atau apapun yang berhubungan dengan dirinya. Bila untuk mengampuni dia harus mengorbankan dirinya, maka itu telah  menunjukkan ketidak-kuasanya dia atas dirinya dan atas hambanya. Simpelnya, toh manusia bersalah atas dia, yang di langgar juga aturan-nya? Tinggal diampuni saja selesai. Kenapa harus dibuat ribet.?

5. Tuhan Tidak ber-anak dan di peranakkan. Bisa membayangkan Tuhan mempunyai anak seperti manusia? Bagimana cara menyembah antara Tuhan dan anaknya? Bukankah ini namanya mendua-akan Tuhan? dan Tuhan ter-dua-kan?
Atau benarkan dulu Tuhan mempunyai anak, lalu apakah ketuhanan memiliki pewarisan seperti pewarisan putra mahkota? Tuhan meminta anaknya untuk menggantikan “tahta’nya sebagai Tuhan. Lalu setelah Tuhan mangkat, Tuhan akan kemana? Menghilang? Terhapus? Bagaimana mungkin Tuhan tergantikan? Bukankah penalaran ini tidak memuaskan akal manusia?


Sebenarnya masih ada banyak hal yang akan menjadi pertanyaan, pada sesuatu yang memang bukan Tuhan. Akan selalu muncul pertanyaan terus menerus, kenapa begini, kenapa begitu. Adanya pertanyaan-pertanyaan ini adalah hal yang lumrah dan harus. Sebab Allah menciptakan kita akal. Dimana akal itu digunakan untuk mencari kebenaran tentang-Nya. Seperti kisah Ibrahim yang mahsyur saat ia mencari Tuhan dengan mengedepankan akalnya...


Bagaimana kisah Ibrahim yang mencari Tuhan dengan memfungsikan akalnya...? lalu seperti apakah sosok tuhan yang sesuai akal manusia? penasaran...bersambung di 

Menalar Tuhan Sebagai Tuhan Part 2....

Wednesday, October 24, 2018

Hukum Memisahkan Tempat Tidur Anak




Sebelum menjawab pertanyaan ini, pertama-tama yang harus dijelaskan adalah status hukum perbuatan yang membangkitkan syahwat. Sebenarnya perbuatan yang membangkitkan syahwat ini tidak serta-merta hukumnya haram semata-mata karena membangkitkan syahwat. Suatu perbuatan dihukumi halal atau haram harus berdasarkan dalil syariah, bukan karena membangkitkan syahwat atau tidak. Sebab, syahwat itu tidak haram karena merupakan fitrah di dalam diri manusia. Karena itu, bangkitnya syahwat juga tidak haram. Demikian halnya perbuatan yang membangkitkan syahwat juga tidak haram. Tidak ada dalil, baik dari Alquran, Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas, yang menyatakan haramnya perbuatan yang membangkitkan syahwat.
Memang, ada beberapa perbuatan yang membangkitkan syahwat, dan hukumnya haram, tetapi keharaman itu terjadi karena adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Misalnya, melihat wanita dengan syahwat, jelas hukumnya haram. Dalilnya adalah hadis Khats’amiyyah dan tindakan Nabi saw. yang memalingkan leher Fadhal bin al-‘Abbas dari wanita tersebut.
Dengan demikian, hukum melihat wanita yang disertai syahwat itu jelas haram. Dalil keharaman ini tidak bisa digunakan, misalnya, untuk menyatakan keharaman melihat wanita tanpa syahwat, dan melihat selain wanita dengan syahwat. Sebab, nash-nya terkait dengan melihat perempuan dengan syahwat. Jadi, ini hanya khusus untuk kasus ini saja, dan tidak bisa dianalogikan pada kasus-kasus lain.
Namun, ada perbuatan yang lazim menjadi pengantar zina atau sodomi, seperti kedipan mata, memberi isyarat, mencium dan meraba lawan jenis atau sejenis (dengan maksud diajak sodomi), maka dengan atau tanpa disertai syahwat tetap haram.
Keharamannya ditetapkan berdasarkan dalil keharaman zina dan sodomi. Dalil keharaman zina dan sodomi itu meliputi zina dan sodominya itu sendiri sekaligus perbuatan yang dilakukan untuk tujuan tersebut. Keharaman ini bukan karena kaidah, “Al-Wasilatu ila al-haram muharramah” (Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman adalah juga haram). Namun, karena cakupan dalil keharaman zina dan sodomi tersebut bisa meliputi keduanya.
Akan tetapi, harus dicatat, suatu perbuatan bisa dikategorikan dalam cakupan dalil keharaman zina dan sodomi itu harus memenuhi dua syarat. Pertama: perbuatan itu memang lazimnya menjadi pengantar zina dan sodomi. Kedua: perbuatan itu dilakukan dengan tujuan untuk berzina atau sodomi. Karena itu jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka dalil tersebut tidak bisa digunakan untuk menetapkan status perbuatan tersebut. Misalnya, orang yang menghadiri ceramah dan ceramah tersebut juga dihadiri perempuan; atau pergi ke tempat potong rambut yang di sana ada pemuda tampan yang hendak dikontak. Hukum menghadiri ceramah atau datang ke tempat potong rambut seperti ini jelas tidak haram. Sebab, baik menghadiri ceramah maupun potong rambut, sama-sama bukanlah pengantar zina atau sodomi.
Ini penjelasan tentang syahwat, dan perbuatan yang bisa membangkitkan syahwat, serta hukum syariah tentang keduanya. Berdasarkan paparan tersebut maka masalah tidurnya dua anak, baik sesama laki-laki, perempuan, atau laki-perempuan, dalam satu tempat tidur dan satu selimut bisa dipahami.
Mengenai fakta aktivitas tidur, yaitu tidurnya dua anak dalam satu tempat tidur (madhja’), tidak diragukan lagi ini merupakan aktivitas yang menjadi pengantar zina dan sodomi, karena ini merupakan bentuk perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama). Adapun perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama), sudah jelas, merupakan perbuatan pengantar zina atau sodomi. Karena itu dalam hal ini berlaku hukum perbuatan yang lazim menjadi pengantar zina dan sodomi, yaitu haram.
Merujuk pada dalil larangan mudhâja’ah (tidur bersama), dengan tegas telah disebutkan oleh Nabi saw.:
مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian salat ketika usia mereka tujuh tahun; pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun; dan pisahkan mereka di tempat tidur.”(HR Abu Dawud)
Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk memisahkan tempat tidur anak-anak. Padahal tidak ada keraguan sedikitpun, ketika mereka tidur dalam satu ranjang hal itu belum bisa mengantarkan mereka dalam perbuatan zina atau sodomi, karena belum ada hasrat (syahwat) untuk itu di usia tersebut. Dengan begitu, perintah “memisahkan tempat tidur” tersebut lebih diarahkan pada perbuatannya itu sendiri, yaitu mudhâja’ah (tidur bersama), bukan karena zina atau sodominya. Karena itu perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama) ini haram.
Adapun keharaman tersebut bersifat umum, bisa sesama laki-laki maupun sesama perempuan, atau lelaki-perempuan. Sebab, nash-nya berbentuk umum. Dalam bahasa Arab, kata awlâd, jamak dari walad, bisa digunakan untuk anak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan kata ibn (anak laki-laki) dan bint (anak perempuan), yang khusus untuk jender masing-masing.
Selain faktor kata awlâd yang berbentuk musytarak, yang bisa berarti anak laki-laki dan perempuan, kata ini juga berbentuk jamak taktsîr, yang disambung dengan kata ganti (dhamîr), kum (kalian). Dengan demikian awlâdakum adalah shîghat umum, dengan konotasi umum.
Jika anak-anak saja dilarang melakukan mudhâja’ah (tidur bersama), maka larangan yang sama tentu lebih layak untuk orang dewasa. Sebab, perintah kepada pihak yang lebih rendah juga merupakan perintah kepada pihak yang lebih tinggi.
Ini termasuk dalam kategori: tanbih min al-adna ila al-a’la. Mengenai perintah “memisahkan tempat tidur” itu sendiri statusnya adalah wajib, bukan sunnah, apalagi mubah. Karena itu tidak boleh sesama laki-laki atau perempuan tidur berdua dalam satu ranjang, baik satu ranjang dengan satu selimut, atau dua ranjang dengan satu selimut, atau satu ranjang dua selimut. Semuanya termasuk dalam fakta mudhâja’ah (tidur bersama).
Fakta “satu tempat tidur” adalah “satu kasur”, atau “satu selimut”. Dua orang yang tidur dalam satu kasur meski dengan dua selimut yang terpisah, atau dua orang yang tidur dalam satu selimut meski dengan dua kasur terpisah, masing-masing termasuk “satu tempat tidur”. Satu kasur, meski dengan selimut berbeda, dan terpisah, atau satu selimut, dengan kasur berbeda dan terpisah, itulah yang menjadikan “satu tempat tidur”. Jadi, yang terpenting dalam konteks ini adalah fakta kasur dan selimut sekaligus. Inilah yang menjadi patokan “satu tempat tidur” atau tidak.
Dengan demikian perintah “memisahkan tempat tidur” hukumnya wajib. Karena itu orangtua dan wali anak-anak tersebut wajib memisahkan tempat tidur mereka, yakni dengan menjadikan mereka tidur terpisah, masing-masing satu tempat tidur dan satu selimut secara terpisah. Demikian juga dengan orang dewasa wajib tidur secara terpisah; mereka haram melakukan mudhâja’ah (tidur bersama), dengan alasan apapun.
Demikian juga tidak boleh, karena alasan dingin, takut bahaya, atau miskin, maka mereka tidur dalam satu tempat tidur bersama-sama. Semuanya ini tidak bisa dijadikan alasan karena perintah atau larangan tersebut bersifat umum. Kalaupun ada alasan (udzur) yang dibenarkan, maka alasan (udzur) tersebut harus syar’i, dan dinyatakan oleh nash. Padahal tidak ada alasan (udzur) apapun yang membolehkan mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut.
Inilah hukum yang berlaku bagi anak-anak. Hukum yang sama juga tentu berlaku bagi orang dewasa. Dengan demikian tidak boleh ada dua orang tidur dalam ranjang yang sama, secara mutlak, apapun kondisi dan alasannya.
Mengenai batasan usia, yang menentukan kapan kewajiban tersebut berlaku, maka pendapat yang rajih menyatakan bahwa berlakunya kewajiban tersebut saat anak-anak itu berusia tujuh tahun, bukan sejak lahir. Ini berdasarkan riwayat dari ad-Daruquthni dan al-Hakim:
إذا بَلَغَ أَ
وْلادُكُمْ سَبْعَ سِنينَ فَفَرِّقوا
بَيْنَ فُرُشِهِمْ، وَإِذا بَلَغوا عَشْر سِنينَ فاضْرِبوهُمْ على الصَّلاة
Jika anak-anak kalian telah menginjak usia tujuh tahun maka pisahkanlah tempat tidur mereka. Jika mereka menginjak usia sepuluh tahun maka pukullah mereka karena meninggalkan salat (HR al-Hakim).
Dengan adanya hadis ini, maka hadis riwayat Abu Dawud yang tidak menyatakan batasan usia itu dibawa pada hadis yang menyatakan usia. Dengan demikian kemutlakan hadis yang pertama harus dibatasi dengan hadis kedua. Karena itu, batasan usia “memisahkan tempat tidur” wajib dilakukan saat anak-anak berusia tujuh tahun. Mafhûm mukhâlafah-nya, jika belum menginjak usia tujuh tahun, maka hukumnya tidak wajib.
Kewajiban “memisahkan tempat tidur” ini juga dikecualikan dari anak laki-laki dengan orangtuanya. Ini berdasarkan hadis Nabi saw.:
لاَ يُفْضِيَنَّ رَجُلٌ إلَى رَجُلٍ، وَلا امْرَأَةٌ إلَى امْرَأَةٍ، إلاَّ وَلَداً أوْ وَالِداً
Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan laki-laki lain, juga perempuan dengan perempuan lain, kecuali dengan anak atau orang tuanya (HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi).
Karena itu, keharaman mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut dikecualikan dari seorang lelaki dengan anak lelakinya, atau bapaknya; dikecualikan dari seorang perempuan dengan anak lelakinya atau bapaknya. Karena itu, bapak atau ibu yang tidur dengan anak-anaknya tidak termasuk dalam keharaman mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut. Hukumnya juga tidak makruh. Secara umum tidak ada masalah.
Karena itu, seorang ibu yang menyusui anaknya di tempat tidur tidak termasuk dalam kategori larangan “tidur bersama”. Berdasarkan kemutlakan ayat “yurdhi’na” (menyusui), yang tidak terikat dengan kondisi, apakah dengan tidur atau tidak. Wallahu’alam.[]
sumber : https://www.muslimahnews.com/2018/08/07/hukum-memisahkan-tempat-tidur-anak/

TANYA JAWAB TENTANG VAKSINASI: FAKTA DAN HUKUMNYA MENURUT SYAIKHUL USHUL ‘ATHA BIN KHALIL (AMIR HIZBUT TAHRIR)


Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Saudari Anda seakidah dari kota La Neueve. Saya sampaikan kepada al-‘alim al-jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, amir Hizbut Tahrir hafizhahullah, sebagai berikut:
Saya seorang perempuan Chechnya yang tinggal di Belgia sejak 14 tahun lalu, di mana banyak masyarakat Chechnya di sana. Baru-baru ini banyak pembicaraan dan pertanyaan tentang vaksinasi anak-anak dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi campak, polio, hepatitis, gondok, TBC dan vaksinasi jenis lainnya. Terlihat ada orientasi besar menentang vaksinasi dan imunisasi, dengan alasan adanya komplikasi yang terjadi akibat vaksinasi yang makin meningkat kasusnya. Juga bahwa vaksinasi ini adalahdharar dan tidak boleh dikenakan kepada anak-anak kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih lagi tidak fardhu. Mereka menyatakan bahwa vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke tubuh anak dan ini adalah haram. Bahkan kadang vaksinasi itu diambil dari hewan-hewan seperti monyet, misalnya. Begitulah alasan mereka.
Pertanyaannya: apa realitas vaksinasi dan apa hukum syara’ tentangnya? Apakah dalam Daulah al-Khilafah akan ada vaksinasi dengan berbagai jenisnya? Perlu diketahui bahwa separo masyarakat Muslim di kami tidak memvaksinasi anak-anak mereka dan jumlah mereka terus meningkat. Akhirnya hukum syara’ yang jelas dan kuat sangat dinanti. Mohon ada penjelasan dan uraian tentang itu, sesuai yang bisa Anda berikan. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan kaum Muslimin.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Vaksinasi adalah pengobatan. Berobat adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً»
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau bersabda:
«لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»
Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka sembuh dengan izin Allah azza wa jalla.
Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ»
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya.
Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berusaha berobat yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Ini adalah anjuran dan bukan wajib.
2. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»
Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang Arab Baduwi datang dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita berobat?”” Rasul bersabda:
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ»
Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-harmu Yakni kematian.
Di dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam hadits kedua, Beliau saw menjawab kepada seorang Arab Baduwi dengan jawaban berobat. Dan seruan kepada para hamba agar berobat, karena Allah tidaklah menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di dalam kedua hadits itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi pengertian tuntutan dan tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang tegas. Ketegasan itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itu di dalam kedua hadits tersebut yang menunjukkan wajib. Ditambah bahwa dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Nabi saw bersabda:
«يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ»، قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ»
“Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta diruqyah (dijampi-jampi).”
Kay dan ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Abbas: ia berkata …. (yaitu) perempuan hitam ini, ia datang kepada Nabi saw lalu berkata:
إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…»
“Aku sakit ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan untukmu surga, dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.” Maka perempuan itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku agar aku tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”
Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.
Semua itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan untuk wajib. Dengan begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa juga mandub, sementara kuatnya dorongan dari Rasul saw untuk berobat, maka jadilah perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadits-hadits itu adalah untuk mandub.
Atas dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan berobat adalah mandub. Namun jika terbukti jenis terntentu dari vaksinasi itu membahayakan, seperti bahannya rusak atau membahayakan karena suatu sebab tertentu … maka vaksinasi dalam kondisi seperti ini menjadi haram, sesuai kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad id Musnad-nya dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri
Hanya saja kondisi ini sangat sedikit …
Adapun dalam Daulah al-Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan hal itu, seperti penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang digunakan adalah yang bersih dari segala kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang menyembuhkan.
﴿وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ﴾
dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80)
Sudah makruf secara syar’iy bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban khalifah termasuk ri’ayah asy-syu’un sebagai praktek sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Ini adalah nas yang bersifat umum tentang tanggung jawab negara atas kesehatan dan pengobatan, karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.
Ada dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari jalur Jabir ia, berkata:
«بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ»
Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib, lalu tabib itu memotong nadinya dan dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay).
Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata:
«مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بِنَ الْخَطَّابِ مَرَضاً شَدِيداً فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيباً فَحَمَانِي حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النَّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ»
Aku sakit keras pada masa Umar bin al-Khaththab, lalu Umar memanggil seorang tabib. Tabib itu memberi pantangan makannan kepadaku hingga aku menghisap biji karena kerasnya pantangan Rasul saw dalam kapasitas beliau sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah Rasyid kedua memanggil seorang tabib untuk untuk mengobati Aslam. Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan kesehatan dan pengobatan termasuk bagian dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada orang diantara rakyat yang memerlukannya.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
15 Muharram 1435
18 November 2013
Sumber : https://mediaumat.news/tanya-jawab-tentang-vaksinasi-fakta-dan-hukumnya-menurut-syaikhul-ushul-atha-bin-khalil-amir-hizbut-tahrir/

Tuesday, April 10, 2018

Diantara CINTA atau Cinta




Alhamdulillahi robbil 'alamin, buku saya yang berjudul "diantara CINTA atau Cinta" telah selesai saya rampungkan. 

Kadang-kadang kita tidak pernah mengerti mengapa sebagian orang di sekitar kita lebih memilih menjalani cinta sejenis, yang pastinya sangat di haramkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Meski Allah sudah menjanjikan ancaman azab yang keras bagi pelaku homoseksual (LGBT) , namun banyak diantara mereka yang tetap memilih bertahan dalam dunia homoseksual, apakah menjadi gay, lesbian, biseksual dan transgender.

Tanpa disengaja-pun saya diperkenalkan oleh Allah untuk mengenal dunia ini. Awalnya kaget, dan hendak menolak. Namun karena fakta sudah berada di depan mata, mau tak mau saya-pun belajar untuk menyelami dunia ini. Ternyata banyak hal yang saya dapatkan, dan beberapa ta'bir -pun mulai terbuka tentang dunia ini.

Bagi yang awam tentang dunia homoseksual, buku ini dapat memberikan sedikit gambaran tentang dunia belok, dan dapat menjadi sebuah "upaya" dan "benteng" bagaimana menjaga diri kita dan keluarga kita dari aktifitas maksiat ini yang sungguh tidak mengenal batas usia. Karena banyak yang sudah "terkontaminasi" tanpa pernah menyadari. Saat tersadar, semua-pun sudah terlambat, sebab telah menjalani. Itulah mengapa buku ini sangat penting untuk kita miliki. Akan lebih bermanfaat jika buku ini dapat dijadikan "hadiah" bagi mereka yang sudah terlanjur masuk ke dalam dunia belok, untuk belajar sembuh.

Buku ini pula sebagai jawaban dan permintaan beberapa teman-teman di email saya, untk membantu sahabat-sahabat yang sedang salah dalam melangkah.
Memang, buku ini adalah gabungan tulisan dari artikel saya, Lesbian antara Allah atau Cinta satu, dengan Lesbian antara Allah atau Cinta Dua dan Takdir. Namun, agar buku ini lebih "fresh" saya menambahkan dengan beberapa "hikmah" untuk mereka terus terinspirasi dan "tips-tips" untuk bisa sembuh secara terperinci. Inshaa Allah tidak kalah manfaatnya dari ketiga artikel saya yang sebelumnya. Tentunya, dengan menjadi sebuah buku, kita dapat membacanya dimana saja dan kapan-pun kita mau.

Saya menyadari, buku ini masih jauh dari sempurna, tapi di dalamnya ada sebuah harapan yang besar bagi mereka yang ingin sembuh, belajar untuk sembuh dan bertahan dalam kesembuhan. Semoga Allah selalu menjaga kita dengan Hidayah-Nya yang lurus. Aamiin...