BIDADARI SURGA ASIAH

Wednesday, October 24, 2018

Hukum Memisahkan Tempat Tidur Anak




Sebelum menjawab pertanyaan ini, pertama-tama yang harus dijelaskan adalah status hukum perbuatan yang membangkitkan syahwat. Sebenarnya perbuatan yang membangkitkan syahwat ini tidak serta-merta hukumnya haram semata-mata karena membangkitkan syahwat. Suatu perbuatan dihukumi halal atau haram harus berdasarkan dalil syariah, bukan karena membangkitkan syahwat atau tidak. Sebab, syahwat itu tidak haram karena merupakan fitrah di dalam diri manusia. Karena itu, bangkitnya syahwat juga tidak haram. Demikian halnya perbuatan yang membangkitkan syahwat juga tidak haram. Tidak ada dalil, baik dari Alquran, Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas, yang menyatakan haramnya perbuatan yang membangkitkan syahwat.
Memang, ada beberapa perbuatan yang membangkitkan syahwat, dan hukumnya haram, tetapi keharaman itu terjadi karena adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Misalnya, melihat wanita dengan syahwat, jelas hukumnya haram. Dalilnya adalah hadis Khats’amiyyah dan tindakan Nabi saw. yang memalingkan leher Fadhal bin al-‘Abbas dari wanita tersebut.
Dengan demikian, hukum melihat wanita yang disertai syahwat itu jelas haram. Dalil keharaman ini tidak bisa digunakan, misalnya, untuk menyatakan keharaman melihat wanita tanpa syahwat, dan melihat selain wanita dengan syahwat. Sebab, nash-nya terkait dengan melihat perempuan dengan syahwat. Jadi, ini hanya khusus untuk kasus ini saja, dan tidak bisa dianalogikan pada kasus-kasus lain.
Namun, ada perbuatan yang lazim menjadi pengantar zina atau sodomi, seperti kedipan mata, memberi isyarat, mencium dan meraba lawan jenis atau sejenis (dengan maksud diajak sodomi), maka dengan atau tanpa disertai syahwat tetap haram.
Keharamannya ditetapkan berdasarkan dalil keharaman zina dan sodomi. Dalil keharaman zina dan sodomi itu meliputi zina dan sodominya itu sendiri sekaligus perbuatan yang dilakukan untuk tujuan tersebut. Keharaman ini bukan karena kaidah, “Al-Wasilatu ila al-haram muharramah” (Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman adalah juga haram). Namun, karena cakupan dalil keharaman zina dan sodomi tersebut bisa meliputi keduanya.
Akan tetapi, harus dicatat, suatu perbuatan bisa dikategorikan dalam cakupan dalil keharaman zina dan sodomi itu harus memenuhi dua syarat. Pertama: perbuatan itu memang lazimnya menjadi pengantar zina dan sodomi. Kedua: perbuatan itu dilakukan dengan tujuan untuk berzina atau sodomi. Karena itu jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka dalil tersebut tidak bisa digunakan untuk menetapkan status perbuatan tersebut. Misalnya, orang yang menghadiri ceramah dan ceramah tersebut juga dihadiri perempuan; atau pergi ke tempat potong rambut yang di sana ada pemuda tampan yang hendak dikontak. Hukum menghadiri ceramah atau datang ke tempat potong rambut seperti ini jelas tidak haram. Sebab, baik menghadiri ceramah maupun potong rambut, sama-sama bukanlah pengantar zina atau sodomi.
Ini penjelasan tentang syahwat, dan perbuatan yang bisa membangkitkan syahwat, serta hukum syariah tentang keduanya. Berdasarkan paparan tersebut maka masalah tidurnya dua anak, baik sesama laki-laki, perempuan, atau laki-perempuan, dalam satu tempat tidur dan satu selimut bisa dipahami.
Mengenai fakta aktivitas tidur, yaitu tidurnya dua anak dalam satu tempat tidur (madhja’), tidak diragukan lagi ini merupakan aktivitas yang menjadi pengantar zina dan sodomi, karena ini merupakan bentuk perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama). Adapun perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama), sudah jelas, merupakan perbuatan pengantar zina atau sodomi. Karena itu dalam hal ini berlaku hukum perbuatan yang lazim menjadi pengantar zina dan sodomi, yaitu haram.
Merujuk pada dalil larangan mudhâja’ah (tidur bersama), dengan tegas telah disebutkan oleh Nabi saw.:
مُرُوا أَوْلاَدَكُم بالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْع سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian salat ketika usia mereka tujuh tahun; pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun; dan pisahkan mereka di tempat tidur.”(HR Abu Dawud)
Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk memisahkan tempat tidur anak-anak. Padahal tidak ada keraguan sedikitpun, ketika mereka tidur dalam satu ranjang hal itu belum bisa mengantarkan mereka dalam perbuatan zina atau sodomi, karena belum ada hasrat (syahwat) untuk itu di usia tersebut. Dengan begitu, perintah “memisahkan tempat tidur” tersebut lebih diarahkan pada perbuatannya itu sendiri, yaitu mudhâja’ah (tidur bersama), bukan karena zina atau sodominya. Karena itu perbuatan mudhâja’ah (tidur bersama) ini haram.
Adapun keharaman tersebut bersifat umum, bisa sesama laki-laki maupun sesama perempuan, atau lelaki-perempuan. Sebab, nash-nya berbentuk umum. Dalam bahasa Arab, kata awlâd, jamak dari walad, bisa digunakan untuk anak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan kata ibn (anak laki-laki) dan bint (anak perempuan), yang khusus untuk jender masing-masing.
Selain faktor kata awlâd yang berbentuk musytarak, yang bisa berarti anak laki-laki dan perempuan, kata ini juga berbentuk jamak taktsîr, yang disambung dengan kata ganti (dhamîr), kum (kalian). Dengan demikian awlâdakum adalah shîghat umum, dengan konotasi umum.
Jika anak-anak saja dilarang melakukan mudhâja’ah (tidur bersama), maka larangan yang sama tentu lebih layak untuk orang dewasa. Sebab, perintah kepada pihak yang lebih rendah juga merupakan perintah kepada pihak yang lebih tinggi.
Ini termasuk dalam kategori: tanbih min al-adna ila al-a’la. Mengenai perintah “memisahkan tempat tidur” itu sendiri statusnya adalah wajib, bukan sunnah, apalagi mubah. Karena itu tidak boleh sesama laki-laki atau perempuan tidur berdua dalam satu ranjang, baik satu ranjang dengan satu selimut, atau dua ranjang dengan satu selimut, atau satu ranjang dua selimut. Semuanya termasuk dalam fakta mudhâja’ah (tidur bersama).
Fakta “satu tempat tidur” adalah “satu kasur”, atau “satu selimut”. Dua orang yang tidur dalam satu kasur meski dengan dua selimut yang terpisah, atau dua orang yang tidur dalam satu selimut meski dengan dua kasur terpisah, masing-masing termasuk “satu tempat tidur”. Satu kasur, meski dengan selimut berbeda, dan terpisah, atau satu selimut, dengan kasur berbeda dan terpisah, itulah yang menjadikan “satu tempat tidur”. Jadi, yang terpenting dalam konteks ini adalah fakta kasur dan selimut sekaligus. Inilah yang menjadi patokan “satu tempat tidur” atau tidak.
Dengan demikian perintah “memisahkan tempat tidur” hukumnya wajib. Karena itu orangtua dan wali anak-anak tersebut wajib memisahkan tempat tidur mereka, yakni dengan menjadikan mereka tidur terpisah, masing-masing satu tempat tidur dan satu selimut secara terpisah. Demikian juga dengan orang dewasa wajib tidur secara terpisah; mereka haram melakukan mudhâja’ah (tidur bersama), dengan alasan apapun.
Demikian juga tidak boleh, karena alasan dingin, takut bahaya, atau miskin, maka mereka tidur dalam satu tempat tidur bersama-sama. Semuanya ini tidak bisa dijadikan alasan karena perintah atau larangan tersebut bersifat umum. Kalaupun ada alasan (udzur) yang dibenarkan, maka alasan (udzur) tersebut harus syar’i, dan dinyatakan oleh nash. Padahal tidak ada alasan (udzur) apapun yang membolehkan mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut.
Inilah hukum yang berlaku bagi anak-anak. Hukum yang sama juga tentu berlaku bagi orang dewasa. Dengan demikian tidak boleh ada dua orang tidur dalam ranjang yang sama, secara mutlak, apapun kondisi dan alasannya.
Mengenai batasan usia, yang menentukan kapan kewajiban tersebut berlaku, maka pendapat yang rajih menyatakan bahwa berlakunya kewajiban tersebut saat anak-anak itu berusia tujuh tahun, bukan sejak lahir. Ini berdasarkan riwayat dari ad-Daruquthni dan al-Hakim:
إذا بَلَغَ أَ
وْلادُكُمْ سَبْعَ سِنينَ فَفَرِّقوا
بَيْنَ فُرُشِهِمْ، وَإِذا بَلَغوا عَشْر سِنينَ فاضْرِبوهُمْ على الصَّلاة
Jika anak-anak kalian telah menginjak usia tujuh tahun maka pisahkanlah tempat tidur mereka. Jika mereka menginjak usia sepuluh tahun maka pukullah mereka karena meninggalkan salat (HR al-Hakim).
Dengan adanya hadis ini, maka hadis riwayat Abu Dawud yang tidak menyatakan batasan usia itu dibawa pada hadis yang menyatakan usia. Dengan demikian kemutlakan hadis yang pertama harus dibatasi dengan hadis kedua. Karena itu, batasan usia “memisahkan tempat tidur” wajib dilakukan saat anak-anak berusia tujuh tahun. Mafhûm mukhâlafah-nya, jika belum menginjak usia tujuh tahun, maka hukumnya tidak wajib.
Kewajiban “memisahkan tempat tidur” ini juga dikecualikan dari anak laki-laki dengan orangtuanya. Ini berdasarkan hadis Nabi saw.:
لاَ يُفْضِيَنَّ رَجُلٌ إلَى رَجُلٍ، وَلا امْرَأَةٌ إلَى امْرَأَةٍ، إلاَّ وَلَداً أوْ وَالِداً
Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan laki-laki lain, juga perempuan dengan perempuan lain, kecuali dengan anak atau orang tuanya (HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi).
Karena itu, keharaman mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut dikecualikan dari seorang lelaki dengan anak lelakinya, atau bapaknya; dikecualikan dari seorang perempuan dengan anak lelakinya atau bapaknya. Karena itu, bapak atau ibu yang tidur dengan anak-anaknya tidak termasuk dalam keharaman mudhâja’ah (tidur bersama) tersebut. Hukumnya juga tidak makruh. Secara umum tidak ada masalah.
Karena itu, seorang ibu yang menyusui anaknya di tempat tidur tidak termasuk dalam kategori larangan “tidur bersama”. Berdasarkan kemutlakan ayat “yurdhi’na” (menyusui), yang tidak terikat dengan kondisi, apakah dengan tidur atau tidak. Wallahu’alam.[]
sumber : https://www.muslimahnews.com/2018/08/07/hukum-memisahkan-tempat-tidur-anak/

TANYA JAWAB TENTANG VAKSINASI: FAKTA DAN HUKUMNYA MENURUT SYAIKHUL USHUL ‘ATHA BIN KHALIL (AMIR HIZBUT TAHRIR)


Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Saudari Anda seakidah dari kota La Neueve. Saya sampaikan kepada al-‘alim al-jalil Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, amir Hizbut Tahrir hafizhahullah, sebagai berikut:
Saya seorang perempuan Chechnya yang tinggal di Belgia sejak 14 tahun lalu, di mana banyak masyarakat Chechnya di sana. Baru-baru ini banyak pembicaraan dan pertanyaan tentang vaksinasi anak-anak dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi campak, polio, hepatitis, gondok, TBC dan vaksinasi jenis lainnya. Terlihat ada orientasi besar menentang vaksinasi dan imunisasi, dengan alasan adanya komplikasi yang terjadi akibat vaksinasi yang makin meningkat kasusnya. Juga bahwa vaksinasi ini adalahdharar dan tidak boleh dikenakan kepada anak-anak kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih lagi tidak fardhu. Mereka menyatakan bahwa vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke tubuh anak dan ini adalah haram. Bahkan kadang vaksinasi itu diambil dari hewan-hewan seperti monyet, misalnya. Begitulah alasan mereka.
Pertanyaannya: apa realitas vaksinasi dan apa hukum syara’ tentangnya? Apakah dalam Daulah al-Khilafah akan ada vaksinasi dengan berbagai jenisnya? Perlu diketahui bahwa separo masyarakat Muslim di kami tidak memvaksinasi anak-anak mereka dan jumlah mereka terus meningkat. Akhirnya hukum syara’ yang jelas dan kuat sangat dinanti. Mohon ada penjelasan dan uraian tentang itu, sesuai yang bisa Anda berikan. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan kaum Muslimin.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Vaksinasi adalah pengobatan. Berobat adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً»
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau bersabda:
«لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»
Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka sembuh dengan izin Allah azza wa jalla.
Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abdullah bin Mas’ud:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ»
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya, itu diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang yang tidak punya ilmunya.
Hadits-hadits ini di dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berusaha berobat yang mengantarkan kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Ini adalah anjuran dan bukan wajib.
2. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»
Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah Abu Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang Arab Baduwi datang dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita berobat?”” Rasul bersabda:
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ»
Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak menempatkan penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu penyakit al-harmu Yakni kematian.
Di dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam hadits kedua, Beliau saw menjawab kepada seorang Arab Baduwi dengan jawaban berobat. Dan seruan kepada para hamba agar berobat, karena Allah tidaklah menempatkan penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di dalam kedua hadits itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi pengertian tuntutan dan tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang tegas. Ketegasan itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itu di dalam kedua hadits tersebut yang menunjukkan wajib. Ditambah bahwa dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak berobat, yang menafikan pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Nabi saw bersabda:
«يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ»، قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ»
“Ada 70 ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta diruqyah (dijampi-jampi).”
Kay dan ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Abbas: ia berkata …. (yaitu) perempuan hitam ini, ia datang kepada Nabi saw lalu berkata:
إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…»
“Aku sakit ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan untukmu surga, dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.” Maka perempuan itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu ia melanjutkan: “saya tersingkap (auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku agar aku tidak tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”
Kedua hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.
Semua itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan untuk wajib. Dengan begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa juga mandub, sementara kuatnya dorongan dari Rasul saw untuk berobat, maka jadilah perintah berobat yang dinyatakan di dalam hadits-hadits itu adalah untuk mandub.
Atas dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan berobat adalah mandub. Namun jika terbukti jenis terntentu dari vaksinasi itu membahayakan, seperti bahannya rusak atau membahayakan karena suatu sebab tertentu … maka vaksinasi dalam kondisi seperti ini menjadi haram, sesuai kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad id Musnad-nya dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri
Hanya saja kondisi ini sangat sedikit …
Adapun dalam Daulah al-Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan hal itu, seperti penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang digunakan adalah yang bersih dari segala kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang menyembuhkan.
﴿وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ﴾
dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80)
Sudah makruf secara syar’iy bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban khalifah termasuk ri’ayah asy-syu’un sebagai praktek sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Ini adalah nas yang bersifat umum tentang tanggung jawab negara atas kesehatan dan pengobatan, karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.
Ada dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari jalur Jabir ia, berkata:
«بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ»
Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib, lalu tabib itu memotong nadinya dan dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay).
Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata:
«مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بِنَ الْخَطَّابِ مَرَضاً شَدِيداً فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيباً فَحَمَانِي حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النَّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ»
Aku sakit keras pada masa Umar bin al-Khaththab, lalu Umar memanggil seorang tabib. Tabib itu memberi pantangan makannan kepadaku hingga aku menghisap biji karena kerasnya pantangan Rasul saw dalam kapasitas beliau sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah Rasyid kedua memanggil seorang tabib untuk untuk mengobati Aslam. Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan kesehatan dan pengobatan termasuk bagian dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada orang diantara rakyat yang memerlukannya.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
15 Muharram 1435
18 November 2013
Sumber : https://mediaumat.news/tanya-jawab-tentang-vaksinasi-fakta-dan-hukumnya-menurut-syaikhul-ushul-atha-bin-khalil-amir-hizbut-tahrir/