BIDADARI SURGA ASIAH

Sunday, July 5, 2015

Seberapakah Panjang Uluran Jilbabmu Muslimah?




Terkadang masih banyak kebingungan diantara para muslimah tentang seberapa panjang "kain" jilbab yang harus mereka ulurkan diatas tubuh mereka. Apakah harus sebatas mata kaki, ataukah melebihi mata kaki, bahkan mungkin haruskah kain jilbabnya  menyeret tanah? Saya sendiri-pun sempat keliru menafsirkan tentang hal tersebut sehingga terkadang berbuat salah sama teman teman akhwat yang lain.
Alhamdulillah, saya telah mendapat sebuah tulisan yang menjelaskan tentang hal ini. Penjelasan ini saya dapat dari artikel Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Syaikh Atha Abu Rasytah....saya copy tulisan indonesia-nya saja. semoga tulisan ini bermanfaat bagi teman-teman. Syukran.
Tanya jawab dengan Amir Hizbut Tahrir Syaikh Atha Abu  Rasythah.
Tanya : Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh, semoga Allah menerima keta’atan kalian
Saya memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada antum dan kepada kami semua  pertolongan, kekuatan dan  ketegaran, dan menolong engkau dengan menganugerahkan kepada engkau Khilafah yang Kedua sehingga engkau menjadi Khulafaaurraasyidin yang ke enam, sesungguhnya Allahlah yang  menjadi Penolong dalam masalah ini dan Dia Maha Kuasa untuk merealisasikannya.
Syaikh yang kami muliakan, terdapat dalam Kitab An Nidzom Al Ijtimaai Fil Islam, cetapak ke empat (2003/1424) dalam Topik An Nadzru Ilal Mar’ah yang menjelaskan sifat pakaian perempuan yang dipakai diatas baju yang dipakainya yaitu pada hal 49-50
(ويشترط في الجلباب أن يكون مرخياً إلى أسفل حتى يغطي القدمين، لأن الله يقول في الآية: ﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾ أي يرخين جلابيبهن لأن مِنْ هنا ليست للتبعيض بل للبيان، أي يرخين الملاءة والملحفة إلى أسفل، ولأنه روي عن ابن عمر أنه قال: قال رسول الله: «من جرَّ ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة، فقالت أم سلمة: فكيف يصنع النساء بذيولهن؟ قال: يرخين شبراً، قالت؟ إذن ينكشف أقدامهن. قال: يرخين ذراعاً لا يزدن» أخرجه الترمذي، فهذا صريح بأن الثوب الذي تلبسه فوق الثياب - أي الملاءة أو الملحفة - أن يرخى إلى أسفل حتى يستر القدمين، فإن كانت القدمان مستورتين بجوارب أو حذاء فإن ذلك لا يُغني عن إرخائه إلى أسفل بشكل يدل على وجود الإرخاء، ولا ضرورة لأن يغطي القدمين فهما مستورتان...) :
1.Saya merasa ada tanaaqudh (kontradiksi) dalam alinea ini dimana dikatakan : Ini jelas bahwa pakaian (luar) yang dikenakan di atas pakaian (dalam) –yaitu (dalam bentuk malaa’ah, malhafah) agar para perempuan mengulujrkannya sampai asfal (bawah, lantai) agar bisa menutupi kedua kaki sehingga keduanya bisa tertutup.  Dan diantara pendapatnya adalah : tidak ada keharusan untuk menutupi kedua kaki dimana keduanya tertutup.Bagaimana kami bisa memahami hal ini ?  Dan bagaimana kami bisa memahami perintah ini ?  Apakah perempuan wajib untuk menutupi kedua kakinya dengan jilbabnya atau menutupinya dengan kauskakinya yang menutupi apa yang sudah tertutup ?
Ditambah satu pertanyaan lain wahai Syaikh kami dan saya mohon maaf jika pertanyaan saya agak bertele-tele.
2.  Berkaitan dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dimana Rasulullah SAW telah bersabda
«من جرَّ ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة، فقالت أم سلمة: فكيف يصنع النساء بذيولهن؟ قال: يرخين شبراً، قالت؟ إذن ينكشف أقدامهن. قال: يرخين ذراعاً لا يزدن» أخرجه الترمذي،
“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya maka Allah tidak akan mau melihatnya pada hari kiamat, maka berkatalah Ummu Salamah : “Maka apa yang harus dilakukan oleh para perempuan dengan dzuyuul (buntut-buntut, ujung baju bagian bawah) mereka ?   Dari mana qiyas Ummu Salamah terhadap masalah ini apakah dari persendian atau dari bagian tengah kaki ?  Dan seberapa jauh seorang perempuan harus mengulurkan jilbabnya, apakah dia mengulurkannya sampai menyapu lantai, atau menutupi seluruh kaki atau hanya hanya sampai mata kaki saja atau dia menutupinya dengan kaus kaki atau apa ?
Semoga Allah memberkahimu wassalaamualaikum warahmatullaahi wa barakaatuh.
Ummu Saddain – Baitul Muqaddas
Jawab :
Wa alaikum salaam warahmatullaahi wabarakaatuh
Di masa lalu perempuan (terutama di desa) berjalan kaki dengan tidak memakai alas kaki atau menggunakan sandal atau yang semacam itu dan tidak menutupi seluruh kaki sehingga kedua kakinya terbuka, kecuali apa bila dia memanjangkan jilbabnya sampai tanah sehingga kedua kakinya tidak terlihat ketika dia sedang berjalan.  Dan ketika Rasulullah SAW melarang untuk menyeret pakaian dengan penuh kesombongan, Ummu Salamah berpandangan bahwa jika jilbab tidak menyapu lantai dan jika berjalan menyeretnya maka ketika dia berjalan dan menggerakkan kedua kakinya maka pasti  kakinya akan kelihatan, yang demikian itu karena kedua kakinya tidak tertutup sementara dia berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki atau mengenakan sandal yang tidak menutupi kaki seluruhnya, maka dia (Ummu Salamah) bertanya kepada Rasulullah SAW : maka apa yang harus dilakukan oleh para perempuan dengan ujung bajunya ?  Karena pada waktu itu para perempuan memanjangkan jilbabnya sehingga kalau berjalan menyeret pakaiannya agar tidak terlihat kedua kakinya jika sedang berjalan, maka Rasulullah SAW membolehkan mereka untuk memanjangkan jilbabnya sejengkal atau sedepa dari kaki agar kakinya tidak kelihatan jika sedang berjalan.  Maka topik pembahasan dalam hal ini adalah memanjangkan jilbab dalam rangka untuk menutupi kedua kaki, dengan kata lain bahwa pertanyaan ummu salamah itu dilontarkan dalam rangka untuk menutupi kedua kaki, maka ‘illat yang dimaksudkan dalam  memanjangkan baju di lantai menambah panjang irkha (uluran) adalah untuk menutupi kedua kaki, dan ma’lul (hukum fakta yang mengandung illat) itu selalu berputar bersama ‘illat, ada illat ada hukum tidak ada illat tidak ada hukum, maka apabila kedua kaki telah tertutup maka tidak ada kebutuhan untuk untuk mengulurkan pakaian sehingga panjang dan kalau berjalan harus menyeretnya, pakaian hanya perlu diulurkan atau dipanjangkan sampai makna al idnaa (al irkhaa)  yang terdapat dalam ayat
﴿يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾
Sudah tercapai maka itu sudah cukup.  Dengan kata lain sampai menutupi kedua kaki.
2.  Adapun mengenai darimana Ummu Salamah mengqiyaskan sejengkal atau sehasta, maka masalahnya adalah “menyeret pakaian di atas tanah” Inilah yang ditanyakan oleh Ummu Salamah tentang penafsiran tentang hal itu.  Dan sesungguhnya dia (Ummu Salamah) sudah mengetahui bahwa sesungguhnya jika tidak diulurkan/dipanjangkan pakaian itu maka kedua kaki akan kelihatan ketika sedang  berjalan.  Memang benar, jika pakaian tidak diulurkan sampai ke lantai sedikitpun dan perempuan berjalan dengan tidak mengenakan alas kaki atau mengenakan sandal yang tidak menutup maka kakinya pasti akan kelihatan ketika perempuan menggerakkan kedua kakinya maka sebagian kakinya akan tersingkap.  Maka Rasulullah SAW memberikan izin untuk mengulurkan sejengkal tambahan dari lantai karena topiknya adalah ttg menyeret pakaian.  Dan makna kata menyeret, maksudnya adalah memanjang di atas lantai dan itu menunjukkan makna sejengkal dari lantai, dengan kata lain sejengkal dari batas kaki paling bawah (lantai).
Dan saya mengulangi sekali lagi bahwa yang dimaksud dengan hal ini adalah agar kedua kaki tidak tersingkap, maka apabila kedua kaki telah tertutup dengan kaus kaki maka cukup mengulurkan pakaian sampai kaki bagian atas (a’lal qadam) yang tertutup dengan kaus kaki, dengan kata lain cukup sampai kedua mata kaki selama seluruh kaki telah tertutup.
Saudaramu Atha Abu Ar Rasyrah
27 Januari 2014

Itulah jawaban dari syekh Atha. jadi kesimpulannya adalah jilbab yang kita pakai panjang ujung kainnya bisa tidak menyeret atau menyentuh aspal ( jalan) dengan syarat kaki kita sudah ditutupi oleh sesuatu seperti kaus kaki. panjang jilbabpun selama ujung kainnya masih sebatas mata kaki maka jilbab tersebut sudah terkategori syar'i. kemudian tidak boleh jika panjang ujung kain jilbab hanya sampai di atas mata kaki meskipun kita telah menggunakan kaos kaki. semoga artikel ini bermanfaat bagi teman teman semuanya. ;)