BIDADARI SURGA ASIAH

Saturday, November 3, 2018

Menalar Tuhan Sebagai Tuhan ( PART 1)






Ini bukan artikel tentang ilmu perbandingan agama, sebab saya kurang tertarik untuk memahas hal tesebut. Tapi ini adalah sebuah artikel tentang penalaran manusia terhadap Tuhan-nya. Jika hasil penalarannya kepada Tuhannya “memuaskan”, maka saya yakin, tidak akan ada manusia-manusia yang keluar dari kodrat ilahinya yang terlahir suci tanpa dosa. Semua akan terlahir sesuai pada“fitrah”nya.

Seperti biasanya, suatu hari saya datang ke tempat pengajian, untuk menambah lagi perbendaharaan ilmu islam.  Untuk pengajian kali ini, topik yang dikaji adalah bertemakan “Akidah”. Judulnya mungkin biasa-biasa saja, tapi ada hal menarik yang membuat pengajian hari ini begitu luar biasa. Begitu luar biasanya, saya yang seorang muslim dari lahir, seolah merasa terlahir kembali sebagai seorang muslim untuk yang kedua kalinya. Saya juga merasa tercerahkan, merasa pantas menjadi manusia yang benar-benar memfungsikan akalnya. Bukan hanya sebatas memiliki tapi juga memfungsikan. Sebab, andai semua manusia di dunia ini memfungsikan akalnya dalam beriman maka takkan ada perbedaan cara untuk menyembah Tuhan dalam dunia ini.

Penasaran tentang hal menarik tersebut? Saya berharap pembaca semua merasa penasaran, karena ini memang sesuatu hal yang menarik. Kalaupun setelah dibaca ternyata menjadi hal yang tak menarik bagi pembaca sekalian, no problemo! Toh pada hakekatnya saya sudah mengajak pembaca tuk “open mind”. Open mind dalam hal apa? Dalam hal “menalar Tuhan sebagai Tuhan” itulah sisi pembahasan menariknya. Yang tidak tertarik atau merasa tidak mampu dalam  mencoba menalar Tuhan-nya, silahkan keluar dari sini. Karena akan sangat sulit bagi kalian untuk menalarnya, meski kalian mencoba-nya. Meski-pun begitu saya akan membagi ilmu yang saya dapatkan disini, agar setiap "muslim" yang membacanya semakin mantap dalam memegang teguh 'keimanannya". Inshaa Allah :)

Inilah kalimat menarik tersebut yang telah 'mencolek" akal pikiran saya, yang isinya sebagai berikut.

“Sebuah akidah ( keimanan) manusia dikatakan benar apabila ia memiliki 3 Syarat yakni : 1. Sesuai dengan Akal Manusia, 2. Sesuai dengan Fitrah Manusia, 3. Menentramkan Jiwa. Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa “akidah” tersebut batil alias salah.”

Setelah membaca kalimat tersebut, ada yang muncul dalam pikiran saya secara spontan?Pelan-pelan akal saya mulai bekerja dengan berpikir pada akidah yang saya yakini, apakah sudah benar-benar memenuhi syarat tersebut.? Maka saya-pun mulai menalarnya....

Pada syarat pertama pertama dikatakan bahwa sebuah akidah yang benar haruslah : “sesuai dengan akal manusia”. Nah,  dari pertanyaan ini muncul sebuah pertanyaan

Wajibkah sebuah akidah atau keyakinan itu, harus sesuai dengan akal manusia? Tentu saja jawabannya adalah wajib. Tidak, bukan saja wajib tapi wajib wajib dan wajib. Mengapa?

Sebab, sebagian besar akidah yang di anut oleh manusia adalah hasil dari “mengikuti” akidah yang di anut oleh kedua orang tua-nya. Siapa yang menafikkan itu? Jika ortunya akidahnya A maka sudah pasti anaknya juga berakidah A. Jika ortunya akidahnya B maka sudah pasti anaknya juga berakidah B, dan seterusnya. Semuanya berjalan “mengikuti” jejak orang tua. Khan, tidak lucu, saat anak itu lahir, dia langsung unjuk jari kepada ibu dan semua dokter dan perawat yang membantu kelahirannya di muka bumi,sambil berkata, “ma,pa, akubeda..”! Ya elah....! :O
Suatu saat ketika hati dan akalnya merasa ada sesuatu yang menganjal pada akidah yang diterimanya, bisa saja ia akan melakukan proses pencariannya sendiri dalam beriman. Hasilnya, mungkin ia akan berpindah pada akidah yang lain atau malah semakin “menancapkan” keimanannya pada akidah yang dianut, yang sedari awalnya mengikuti akidah orang tua-nya. Nah, dalam proses pencariannya, tentunya dia akan berpikir menggunakan akalnya, mencari dan membandingkan mana akidah yang benar.  Hingga kebenaran itu akan terungkap jelas, saat akalnya mampu menjangkau keberadaan Tuhan, menalarnya dengan “sempurna”,  tanpa harus “mencederai” akal manusia-nya.

Sebab yang lain pula, kadang-kadang kita "dipaksa" dan “terpaksa” untuk mengimani Tuhan lewat berbagai macam cara selain yang saya sebutkan di atas. Diantaranya : 1. Menerima Tuhan dan mengimani-Nya dengan perasaan semata, dan membuang jauh logika  berpikir. Karena bila dicoba untuk dinalar, maka semua akan terasa tidak masuk akal. 2. Cinta yang berlebih, hingga bukan saja membutakan hati tapi juga melumpuhkan akal hingga meninggalkan Tuhan, 3. Terpukau Harta dan dunia, hingga menutup akal pikiran. Dan kejadian-kejadian lain, hingga seseorang tanpa sadar menjadikan makhluk Tuhan sebagai Tuhan.

Berbicara tentang Tuhan, maka kita berbicara tentang akidah, yaitu sebuah konsep keimanan. Dimana manusia meng-ikrarkan sesuatu “Dzat” menjadi Tuhan yang akan disembahnya, dan menjadikan dirinya sebagai “hambanya”. Dengan begitu, ia akan mengabdi kepada Tuhan-nya “seumur hidup”. 
Dan yang paling dramatis dari keimanan ini adalah, sebuah “hasil” akhir sebagai “hadiah” yang Tuhan berikan berupa surga dengan syarat, hamba-Nya “tidak salah” dalam menyembah-Nya saat di dunia. Dan berupa neraka apabila hamba-Nya “menyekutukannya” (menyembah) dengan makhluk-makhluk (yang dianggap Tuhan) selain diriNya. 
Ini bukan pilihan main-main, ini tentang akhir hidup manusia yang sifatnya “abadi”. Apa itu “abadi”? abadi adalah suatu keadaan yang tidak akan pernah berakhir dan tak berujung, hingga kita “putus asa” berada di dalamnya.  Andai dapat surga maka surganya abadi tak ada putus asa tapi kesenangan yang terus menanti. Andai  berujung neraka maka nerakanya abadi, disiksa hingga kita putus asa, hidup di dalamnya selamanya. Oleh sebab itu, jangan sampai kita salah dalam ber-akidah. Kesalahan yang kita lakukan hari ini akan menjadi penyesalan abadi yang tiada putusnya. Think's!

Saya lanjutkan, seperti yang disebutkan di awal bahwa sebuah akidah yang benar syaratnya adalah “sesuai dengan akal manusia” maka menalar Tuhan, haruslah masuk di akal kita. Bukan di akal-akalin atau dibuat-buat. Ketika kita mencoba menalar Tuhan, dan kita mendapati bahwa Tuhan tersebut tak dapat masuk di akal kita, maka itu artinya, itu bukan Tuhan yang benar. Saat Tuhan yang di nalar, masuk di akal kita atau sesuai dengan akal kita maka sudah pasti, itulah Tuhan yang benar, bukan Tuhan yang dibuat-buat. Karena kata kuncinya adalah 

“Tuhan tidak akan menciptakan akal untuk melukai manusia, tapi untuk mendapatkan ilham dan kebenaran tentang-Nya.”

Ingat, Keimanan yang lahir dari akal yang "terpuaskan" akan kuat dan tidak akan pernah rapuh, berbeda dengan keimanan yang lahir dari perasaan.


TENTANG TUHAN

Berbicara tentang Tuhan maka kita berbicara tentang Dzat yang tentu "wajib" berbeda dengan manusia, agar masuk di akal. Karena jika dia sama “dzat”nya dengan manusia, maka dia lemah dan terbatas. Sebab sifat yang melekat pada manusia adalah lemah dan terbatas. Dan Tuhan tidak boleh lemah dan terbatas untuk menjadi seorang Tuhan. Dan kerugian bagi manusia jika dia menyembah sesuatu yang sifatnya lemah dan terbatas. Oleh sebab itu maka :

1. Tuhan tidak  menjalani proses” seperti manusia Untuk menjadi Tuhan. Penjelasannya  sebagai berikut :

-          Misalnya, bak pengangkatan seorang Raja, yang harus diakui dan diangkat oleh rakyatnya untuk menjadi Raja. Tuhan tak butuh pengakuan dan pengangkatan atau kesepakatan dari manusia. Karena dari awal Dia memang adalah Tuhan. Kita mengakui atau tidak, dia tetap menjadi Tuhan, selamanya.

-          Harus menjalani proses perjalanan spiritual untuk menjadi sang pencipta. Jika dia harus menjalani proses spiritual untuk menjadi Tuhan, maka ini sudah menunjukkan bahwa dari awal dia memang bukan Tuhan. Karena, hanya manusia yang memiliki “proses’ sementra Tuhan tidak memiliki proses. Sebab dari awal memang Dia adalah "Dzat" yang memang sudah “azali” sebagai Tuhan.

-          Menjalani kehidupan manusia dengan terlahir dari maaf "vagina" wanita. Melahirkan wujudnya dengan terlahir dari “mahkluk” ciptaan-Nya sendiri hanya untuk berkasih sayang dengan manusia. Padahal dia berkaliber Tuhan.  Sungguh itu merendahkan diri-nya. Kelahiranya-pun  ke dunia sebagai manusia telah menunjukkan bahwa (yang terlahir dari rahim manusia) mempunyai “awal” dan kematiannya menunjukkan dia punya akhir. Sementara, Dzat Tuhan itu harus "azali" yaitu tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak diciptakan, tapi menciptakan.

-          Tidak memiliki cinta apalagi sampai memiliki pasangan. Ini unik. Bagaimana mungkin Dzat sekaliber Tuhan yang disembah punya syahwat seperti manusia? suka dan jatuh cinta? Kalau kita berlogika, Tuhan jatuh cinta, maka kepada siapa Tuhan jatuh cinta? Berarti, Tuhan jatuh cinta kepada makhluk ciptaan-nya sendiri! Dan berhubungan badan dengannya! Bisa dibayangkan? Bagaimana sampai sekaliber Tuhan bisa sampai seperti manusia?.  Apalagi sampai Tuhan patah hati, stres kemudian tidak mau lagi mengurus manusia. Ini jauh melukai logika. Lalu, mengapa menyembah sesuatu yang bercinta?
  
-        Tuhan tidak berjenis kelamin. Begitu banyak kita melihat bahwa, tuhan-tuhan yang disembah, semua berjenis kelamin laki-laki, atau setidaknya digambarkan sebagai sosok seorang laki-laki. Bisakah membayangkan Tuhan punya kelamin? 

Itulah mengapa dikatakan bahwa, Tuhan yang dijadikan sembahan, tidak boleh berproses seperti manusia. Adanya proses pada-nya, telah menunjukkan bahwa dia adalah “bagian” dari makhluk ciptaan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.


2. Tuhan yang disembah manusia tidak boleh bergantung kepada sesuatu.  Karena pada dasarnya, Tuhan yang bergantung pada sesuatu adalah Tuhan yang lemah. Dia seperti  makhluk yang mana sifat dari makhluk adalah bergantung pada sesuatu. Maka manusia    yang pintar pasti  akan meminta pada yang Maha Tinggi.

3. Tuhan-pun harus berkuasa secara mutlak. Artinya tidak boleh ada penguasa selain Dia. Anggaplah Raja, Raja-pun harus seorang jika memerintah. Andai dalam sebuah kerajaan, ada lebih dari satu Raja misal: dua, tiga, dan empat, maka Raja tersebut tidak memiliki   kuasa penuh, karena masih ada yang lain yang berkuasa. Bagaimana bila ada satu Raja yang punya banyak pengikut sementara yang lain hanya sedikit pengikutnya. Apa tidak menutup kemungkinan dia akan iri hati? Bisa jadi ada hal yang akan dia lakukan untuk mendapat pemuja-nya. Namun point-utamanya adalah, Kekuasaan Tuhan harus mutlak milik Dia seorang. Maka bila penguasa dunia ini, lebih dari satu, maka bagaimana cara mereka memerintah? Ok, Anggap saja mereka berbagi kekuasaan dunia agar damai. Tapi "pembagian" ini telah menunjukkan bahwa, Tuhan yang macam ini tidak berkuasa penuh, dia, ataupun teman sejawat-nya. Mereka bukan Tuhan yang mutlak.

4. Tuhan itu harus punya kuasa penuh dalam mengampuni manusia tanpa perlu mengorbankan dirinya, atau apapun yang berhubungan dengan dirinya. Bila untuk mengampuni dia harus mengorbankan dirinya, maka itu telah  menunjukkan ketidak-kuasanya dia atas dirinya dan atas hambanya. Simpelnya, toh manusia bersalah atas dia, yang di langgar juga aturan-nya? Tinggal diampuni saja selesai. Kenapa harus dibuat ribet.?

5. Tuhan Tidak ber-anak dan di peranakkan. Bisa membayangkan Tuhan mempunyai anak seperti manusia? Bagimana cara menyembah antara Tuhan dan anaknya? Bukankah ini namanya mendua-akan Tuhan? dan Tuhan ter-dua-kan?
Atau benarkan dulu Tuhan mempunyai anak, lalu apakah ketuhanan memiliki pewarisan seperti pewarisan putra mahkota? Tuhan meminta anaknya untuk menggantikan “tahta’nya sebagai Tuhan. Lalu setelah Tuhan mangkat, Tuhan akan kemana? Menghilang? Terhapus? Bagaimana mungkin Tuhan tergantikan? Bukankah penalaran ini tidak memuaskan akal manusia?


Sebenarnya masih ada banyak hal yang akan menjadi pertanyaan, pada sesuatu yang memang bukan Tuhan. Akan selalu muncul pertanyaan terus menerus, kenapa begini, kenapa begitu. Adanya pertanyaan-pertanyaan ini adalah hal yang lumrah dan harus. Sebab Allah menciptakan kita akal. Dimana akal itu digunakan untuk mencari kebenaran tentang-Nya. Seperti kisah Ibrahim yang mahsyur saat ia mencari Tuhan dengan mengedepankan akalnya...


Bagaimana kisah Ibrahim yang mencari Tuhan dengan memfungsikan akalnya...? lalu seperti apakah sosok tuhan yang sesuai akal manusia? penasaran...bersambung di 

Menalar Tuhan Sebagai Tuhan Part 2....