BIDADARI SURGA ASIAH

Monday, December 8, 2014

HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

 
 
 
Hukum pernikahan beda agama sesungguhnya amat jelas. Perkara ini telah banyak dikupas dalam berbagai literatur Islam, mulai dari kitab fikih, tafsir hingga hadis. Kesimpulan para ulama juga tidak jauh berbeda. Hal itu disebabkan karena perkara tersebut didasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, baik tsubût maupun dalâlah-nya.


Menikah dengan Kaum Musyrik


Kaum Muslim haram menikah dengan kaum musyrik. Hukum ini berlaku bagi Muslim maupun Muslimah. Laki-laki Muslim haram menikahi wanita musyrik dan wanita Muslimah haram dinikahi laki-laki musyrik. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
 
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
 
Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik daripaada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah [2]: 221).
 
Ayat ini secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.1 Bahkan tidak ada perbedaan di kalangan para ahli ilmu tentang keharaman menikahi wanita kafir (selain Ahlul Kitab) dan memakan sembelihannya.
 
Menurut pendapat yang râjih, kata al-musyrikât tidak mencakup Ahlul Kitab. Di antara dalilnya adalah adanya beberapa ayat yang menyebut orang kafir itu terdiri dari dua golongan, yakni Ahlul Kitab dan musyrik (lihat QS al-Baqarah [2]:105; al-Maidah [5]: 82, al-Bayyinah [96]: 1 dan 6). Dalam ayat-ayat itu, al-musyrikîn di-athaf-kan kepada Ahli Kitab. Adanya athaf itu menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya. Oleh karena itu, kata al-musyrikât dalam ayat ini tidak mencakup wanita Kitabiyah. Sebagaimana dinyatakan al-Shabuni, ini merupakan pendapat jumhur ulama.


Menikahi Ahlul Kitab



Terdapat perbedaan hukum antara pria Muslim dan wanita Muslimah dalam hal menikah dengan Ahlul Kitab. Seorang pria Muslim boleh menikahi wanita Muslimah dan Ahlul Kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
 
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
 
Pada hari ini telah dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik. Makanan Ahlul Kitab juga halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka. Demikian pula dengan perempuan yang menjaga kehormatannya dari orang-orang Mukmin dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari Ahlul Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).
 
Patut dicatat, hukum mubah itu bukan berarti harus dikerjakan. Sebab, dalam memilih istri, Rasulullah saw, telah mendorong pria Muslim untuk lebih memperhatikan aspek agamanya. Beliau bersabda:
 
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang beragama niscaya kamu akan beruntung (HR al-Bukhari).
 
Dan pertanyaan yang muncul adalah apakah di zaman sekarang ini masih ada para ahlul Kitab? Kalo kita kembali dengan pengertian "ahlul kitab" yang dimaksud dalam Al-quran, adalah orang-orang yang meng-Esa-kan Allah karena kitab-kitab terdahulu memang isinya adalah meng-Esa-kan Allah. berbeda dengan zaman sekarang, kitab-kitab sekarang sudah bercampur dengan tulisan tangan manusia. sehingga isi-nya sudah tidak lagi meng-Esa-kan Allah. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa sekarang sudah tidak ada lagi orang yang bisa disebut sebagai ahlul kitab walaupun agama yang mereka anut merupakan agama samawi, tapi yang ada sekarang adalah orang-orang musyrik.
 
Sebaliknya, haram wanita Muslimah menikah dengan laki-laki Ahlul Kitab, baik Yahudi ataupun Nasrani. Allah SWT berfirman:
 
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Jika kalian mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
 
Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa orang-orang kafir tidak halal bagi perempuan Mukmin. Kata al-kuffâr adalah kata umum yang mencakup seluruh orang-orang kafir, baik Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun orang musyrik.


Bantahan terhadap Klaim Kaum Liberal


Bertolak dari uraian di atas, hukum pernikahan beda agama sudah amat jelas. Namun, bukan kaum Liberal jika tidak suka menggugat hukum-hukum yang telah mapan. Dengan berbagai dalih, mereka menggulirkan ide tentang kebolehan pernikahan beda agama dalam segala bentuknya. Bahkan di antara mereka ada yang sudah melangkah jauh: memfasilitasi pernikahan beda agama. Berikut ini di antara beberapa dalih yang mereka kemukakan beserta bantahan terhadapnya.
a. Pluralisme.
Alasan pluralisme kerap dijadikan sebagai dalih kebolehan pernikahan lintas agama. Dalam pandangan ide ini, pernikahan beda agama tidak boleh dipermasalahkan karena hakikatnya semua agama adalah sama. Ulil Abshar Abdalla, misalnya, mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi sebab al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu. Sebaliknya, al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.
 
Pluralisme jelas tidak boleh dijadikan penentu halal-haramnya perbuatan. Bahkan ide pluralisme sendiri adalah batil sehingga tidak boleh diyakini kebenarannya. Pandangan bahwa al-Quran memandang manusia sederajat tanpa melihat perbedaan agama juga merupakan pandangan batil. Al-Quran telah menetapkan perbedaan kemuliaan di antara manusia dan standar yang digunakan adalah aspek keimanan dan amal shaleh (QS at-Tin [95]: 4-6) dan ketakwaannya (QS al-Hujurat [49]:14). Dalam QS al-Bayyinah [98]: 6-7 juga dinyatakan bahwa kaum kafir disebut sebagai syarr al-bariyyah (seburuk-buruknya makhluk); sebaliknya, orang yang beriman dan beramal salih disebut sebagai khayr al-bariyyah (sebaik-baik makhluk). Bahkan dalam QS al-Anfal [8]: 85 kaum kafir disebut sebagai syarr al-dawâb (seburuk-buruknya binatang). Itu semua menunjukkan batilnya anggapan yang menyamakan semua manusia, apa pun agamanya.
b. Nâsikh-Mansûkh.
Tokoh liberal lainnya, Abdul Moqsith Ghazaly, mengatakan bahwa di dalam al-Quran tidak dicantumkan hukum pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Yang dicantumkan adalah sebaliknya. Ini merupakan min bab al-iktifa’. Karena itu, berlaku hukum sebaliknya (mafhûm al-mukhâlafah). Selain itu, dalam teks-teks agama tidak ditemukan dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Karena tidak ada dalil al-Quran yang melarang maka itu berarti sudah menjadi dalil kebolehannya sehingga pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim dibolehkan.
 
Selain itu, menurutnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun yakni QS al-Maidah [5]: 5 itu adalah ayat yang membolehkan nikah dengan Ahlul Kitab serta telah mengamandemen pelarangan menikah dengan orang kafir dan orang musyrik yang sebelumnya dilarang dalam QS al-Baqarah [5]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10.6
 
Pandangan bahwa tidak ada dalil yang menyebutkan larangan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim jelas dusta. Manthûq firman Allah SWT dalam QS al-Mumtahanah [60]: 10 dengan tegas menjelaskan tidak halalnya wanita Muslimah bagi orang-orang kafir. Teks dalam QS al-Baqarah juga menyatakan al-muhshanât min al-ladzîna ûtû al-kitâb adalah isim muannats yang tidak dapat mencakup laki-laki dari Ahlul Kitab sehingga mereka halal bagi perempuan Muslimah.
 
Pernyataan bahwa QS al-Maidah [5]: 5 merupakan ayat yang turun setelah QS al-Baqarah [2]: 221 dan QS al-Mumtahanah [60]: 10 sehingga hukum kedua ayat terakhir di-naskh dengan ayat terakhir juga tidak bisa diterima.
 
Metode penetapan nâsikh-mansûkh—bahwa suatu hukum yang dikandung oleh suatu dalil diganti oleh hukum yang lain harus ditetapkan secara syar’i—bukan sekadar karena adanya perbedaan pada dua dalil. Harus ada nash yang menerangkan baik secara tekstual ataupun dalâlah bahwa hukum sebelumnya telah di-naskh oleh hukum yang dikandung oleh nash berikutnya atau kedua nash tersebut tidak dapat dikompromikan satu sama lain.
 
Dengan mencermati ketiga ayat di atas tampak bahwa masing-masing ayat tersebut tidak ada yang saling menegasikan sehingga salah satunya harus di-naskh sebagaimana yang dijelasakan di atas. Oleh karena itu, menggunakan konsep nâsikh-mansûkh untuk membedah ayat-ayat tersebut tidak pada tempatnya. Memang di antara ulama ada yang menganggap terdapat nâsikh-mansûkh pada kedua ayat itu. Namun, jika diteliti, kesimpulannya sama: keharaman menikah dengan kaum musyrik dan kebolehan bagi pria Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab.
c. Perbedaan penafsiran.
Dalih lain lainnya terdapat dalam buku ‘Fiqih Lintas Agama’, bahwa ada keragaman di dalam menafsirkan teks-teks ayat-ayat yang dianggap melarang pernikahan beda agama. Menurut buku ini, dengan merujuk pendapat Rasyid Ridha dalam Al-Manâr, sebenarnya cakupan Ahlul Kitab tidak terbatas hanya Yahudi dan Nasrani. Jika seseorang sudah percaya pada salah satu nabi maka bisa dikategorikan Ahlul Kitab. Jadi pengertian dan cakupan Ahlul Kitab semakin meluas seiring dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, tidak ada larangan menikah dengan penganut agama lain seperti Hindu, Budha, dll selama mereka mempunyai kitab suci. Untuk mendukung pendapat tersebut penulis juga mencomot nama Abu Hanifah dan Abu A’la al-Maududi—tanpa menyertakan sumbernya—yang dianggap sejalan dengan pendapat tersebut.
 
Argumentasi tersebut tidak dapat diterima karena istilah ahlul kitab adalah istilah syar’i yang memiliki batasan spesifik. Dengan demikian, istilah itu tidak dapat ditafsirkan semaunya tanpa ada pijakan yang kukuh. Ahlul Kitab dalam berbagai kitab-kitab tafsir yang mu’tabar hanya diartikan sebagai Yahudi dan Nasrani saja. Sejumlah nash telah menafsirkan frasa ahlul kitab sebagai Yahudi dan Nasrani di antaranya QS Ali Imran [3]:65; al-Maidah [5]:68; al-An’am [6]: 156.
 
Pandangan Rasyid Ridha yang dijadikan pijakan penulis juga tidak dapat diterima. Al-Baghdadi—sebagaimana yang dikutip Rasyid Ridha—memang menyatakan bahwa Majusi dan sejumlah firqah lainnya mengklaim memiliki nabi yang menerima wahyu dari Allah SWT. Namun demikian, al-Baghdadi tidak menyatakan bahwa mereka termasuk Ahlul Kitab.
 
Adapun klaim bahwa Imam Ali mengganggap Majusi sebagai Ahlul Kitab maka hal tersebut telah dibantah oleh Imam as-Sarkhasi. Beliau juga menjelaskan posisi Abu Hanifah dalam masalah ini yang kontradiktif dengan apa yang diklaim oleh orang-orang Liberal.
 
Bahkan dalam Marâtib al-Ijmâ’, Ibnu Hazm menyatakan bahwa umat telah bersepakat bahwa selain Yahudi dan Nasrani dari ahlu al-harb dinamakan sebagai orang-orang musyik. Mereka juga bersepakat tentang penamaan Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir, kendati mereka berbeda pendapat dalam menamakan keduanya sebagai orang-orang musyrik.
d. Konteks politik.
Alasan lain yang digunakan untuk membolehkan perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki kafir adalah karena larangan tersebut bersifat politis dan karenanya bersifat temporal. Suhadi dalam, Kawin Beda Agama; Perspektif Kritis Nalar Islam, menyatakan bahwa larangan perbedaan nikah beda agama adalah kembali pada asbâb an-nuzûl ayat-ayat yang melarang perempuan Muslimah menikahi laki-laki kafir. Menurutnya, hal tersebut hanya karena alasan politis karena pada awal kehidupan Muhammad di Madinah, beliau masih traumatik dengan benturan kekerasan dengan kafir Qurays Makkah.
 
Pandangan bahwa setiap ayat harus dikembalikan pada asbâb an-nuzul-nya yang dianggap bersifat temporal dan parsial merupakan salah satu logika khas orang-orang Liberal. Kesimpulan ini jelas salah. Alasannya: Pertama, dari sisi redaksi, ayat-ayat yang memiliki sabab nuzûl seluruhnya berbentuk umum sehingga ia diterapkan atas keumumannya. Kedua, Rasulullah saw. dan diikuti para Sahabat ra. telah memberlakukan hukum yang umum tersebut pada seluruh perkara lain dalam kasus serupa.
Ayat tentang pencurian, misalnya, meski sabab nuzûl-nya berkaitan dengan pencurian perisai atau selendang Shafwan, oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat ia tetap diberlakukan untuk seluruh kasus pencurian. Demikian pula dengan ayat tentang li’ân yang berkenaan dengan Hilal bin Umayyah dan zhihâr yang berkenaan dengan Salamah binti Shakhr atau Khaulah binti Sa’labah. Oleh karena itulah para ulama membuat suatu kaidah: al-Ibrah bi ‘umûmi al-lafdz lâ bi khusûs al-Sabab.13 Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. [M. Ishak dan Abu Burhanuddin]
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997).
2 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, XV/151.
3 Ash-Shabuni, Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, 1/267 (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendapat ini juga dinyatakan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir lebih tepat. Lihat: ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, IV/365: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/582.
4 Ulil Abshar Abdalla. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Kompas. Senin, 18 November.
5 http://islamlib.com/id/artikel/fatwa-nu-tentang-sesatnya-islam-liberal
6 Ibid.
7 Taqiyuddin an-Nabhani. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Beirut: Dar al-Ummah, 2005) III/284.
8 Lihat: Nurcholis Madjid, at.al., Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 2004), hlm. 42-54 dan 153-165.
9 Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firâq, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt.), hlm. 223.
10 Lebih lanjut lihat: Syamsuddin As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, al-Maktabah asy-Syamilah. IV/385; al-Kâsani, Badâi’u ash-Shanâi’, II/271, al-Maktabah asy-Syamilah.
11 Ibnu Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’. Al-Maktabah asy-Syamilah.
12 Suhadi, Kawin Lintas Agama; Pespektif Kritis Nalar Islam (Yogyakarta: LKis, 2006) hlm. 112
13 Atha Ibnu Khalil, Taysîr al-Wushûl fi ‘Ilmi al-Ushûl (Beirut: Dar al-Ummah, 2000) hlm. 223.

0 komentar: